Senin, 27 Februari 2012

Piala Thomas 1982, Bangkitnya sang Naga!

(Kisah sedih tentang robohnya supremasi bulutangkis Indonesia)


Membandingkan dengan kekalahan Indonesia di ajang Piala Thomas 1967 sungguh tidak relevan, karena tahun 1967 Indonesia tidak pernah benar-benar kalah. Terbangnya Piala Thomas 1967 ke Malaysia adalah keputusan politis bukan karena kalah di lapangan.

Kekalahan di final Piala Thomas 1982 ini adalah kekalahan murni di di lapangan. Meskipun kalah karena tidak beruntung. Kalah ya tetap kalah, gak pakai andai begini, andai begitu.

Tapi memang menyakitkan,meskipun hanya untuk menceritakannya kembali!
Bulutangkis Indonesia 1982

Di arena kejuaraan beregu putra Piala Thomas, Indonesia benar-benar menikmati kejayaannya sejak 1973. Bermaterikan Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat di tunggal dan pasangan Tjuntjun/Johan Wahyudi serta Ade Chandra/Christian di ganda, tidak ada lawan yang mampu mencuri 1 angka pun dari tim Indonesia.

Tahun 1976 Indonesia menewaskan Malaysia 9-0. Dari 9 partai hanya pasangan Dominic Soong/Cheah Hong Chong yang mampu memaksa rubberset Tjuntjun/Johan Wahyudi.

Tahun 1979 Indonesia menggilas Denmark juga dengan 9-0. Dan hanya Iie Sumirat yang terpaksa bermain rubberset, masing-masing melawan Svend Pri dan bintang muda Denmark, Morten Frost.

Kalaupun China sudah “muncul” saat itu, hampir pasti Indonesia mampu mendapat 4 angka dari ganda. Skor yang paling buruk adalah 5-4 atau maksimal 7-2 untuk Indonesia.

(hal ini sudah teruji di Asian Games 1978, Indonesia menyabet emas beregu putra dengan mengalahkan China 3-2).

Karena itulah Indonesia terlena, merasa bahwa para pahlawan ini tidak punya batas dan lupa melakukan pembinaan.

Tahun 1982 adalah tahun suram buat ganda Indonesia. 2 pasangan ganda legendaris Indonesia, yang hampir selalu memastikan perolehan angka di kejuaraan beregu di manapun, secara sekaligus bubar berantakan. Ade Chandra memutuskan untuk menggantungkan raket. Tjuntjun/Johan Wahyudi bersama menyatakan mundur dari bulutangkis, karena masalah pribadi yang muncul usai kekalahannya di final All England 1981, oleh pasangan senegaranya yang lebih muda, Kartono Hariatmanto/Rudy Heryanto. Pasangan baru ini yang digadang-gadang mampu meneruskan prestasi pendahulunya, ternyata tidak stabil. Di semi final All England 1982, mereka menyerah oleh 2 saudara bintang muda asal Malaysia Razif/Jalani Sidek.

Era kejayaan ganda Indonesia yang selalu menjanjikan 4 angka kemenangan di ajang Piala Thomas sejak 1973, seketika menjadi pertanyaan besar.

Di sektor tunggal, masalahnya tidak jauh berbeda. Rudy Hartono di usianya menjelang 33 tahun, kemampuan teknisnya sudah jauh menurun. Di All England, ajang yang membesarkan namanya, terakhir diikutinya 1981 sebagai semifinalis, sebelum dihentikan oleh Prakash Padukone. Hanya kemauan keras dan niatnya untuk membela Merah Putih, dia bersedia memperkuat tim Piala Thomas Indonesia 1982.

King memang masih berkibar, tapi dia tidak mampu “meninggalkan” pesaingnya secara mutlak, seperti Rudy di masa jayanya. Permainannya yang bertipe serang murni, “speed and power game“, mulai kelihatan banyak menguras tenaganya di usianya yang sudah 26 tahun ini.

Masalah sebenarnya ada di tunggal ketiga setelah Iie Sumirat mengundurkan diri tahun 1979. Meskipun banyak nama yang beredar, Lius Pongoh, Dhany Sartika dan Hadiyanto, tapi tidak ada satupun yang kemampuannya sudah berada di tingkat elit dunia.
Bulutangkis Dunia (di luar China) 1982.

Di piramida paling atas sektor tunggal putra dunia paling tidak ada 2 pesaing King paling serius, Morten Frost Hansen 24 tahun, Denmark dan Prakash Padukone, yang masa remajanya pernah berlatih di Indonesia, 27 tahun asal India. Selapis di bawahnya, ada nama-nama Flemming Delfs (Denmark, 31tahun), Steve Baddeley (Inggris, 29 tahun) dan pemain muda eksentrik asal Malaysia, Misbun Sidek, 22 tahun.

Di sektor ganda, sepeninggal 2 legenda Christian/Ade dan Tjuntjun/Johan, penghuni puncak dan sekaligus pesaing Kartono/Heryanto tidaklah banyak. Ada nama Thomas Kihlstroem/Stefan Karlsson asal Swedia, yang juara Eropa sejak 1980 (ketika itu Kihlstroem sudah 42 tahun!), lalu Razif/Jalani Sidek, Malaysia yang meskipun jadi juara All England 1982, tapi masih belum stabil, dan pasangan asal Skotlandia Billy Gilliland/Dan Travers, serta pasangan Inggris Mike Tredgett/Martin Dew.

Tapi kejuaraan beregu berbeda dengan perorangan. Dilihat dari daftar pemain yang dimiliki, kalau hanya ini yang dihadapi, Indonesia masih akan mampu mempertahankan Piala Thomas. Meskipun tidak usah lagi bicara angka mutlak 9-0, tapi menang dengan 7-2 atau 6-3, sama saja bukan?

Tapi selain kekuatan tradisional di ajang Piala Thomas ini, sekarang ada China!
China 1982

Setelah berjuang lewat lobi-lobi politis yang sangat panjang sejak 1973, akhirnya China diterima menjadi anggauta resmi badan bulutangkis dunia IBF, 1981. 3 jagoan imigran asal Indonesia, yang mengaduk dunia sejak 1974. Hou Chia Chang, Tang Hsien Hu dan Fang Kai Hsiang sudah semakin mundur prestasinya. Menyadari hal itu mereka mulai giat melakukan pembinaan. Hasilnya tahun 1979 diajang kejuaraan WBF (badan dunia bulutangkis tandingan IBF) Han Tsien (yang kemudian dieja menjadi Han Jian) menjadi juara mengalahkan Luan Chin (kemudian jadi Luan Jin atau Luan Jing) dalam All China final.

All England 1982 adalah ajang pertama pembuktian mereka di ajang bulutangkis dunia. 5 pemain tunggal putra China berhasil menembus perempat final All England pada kesempatan pertama berpartisipasi. Han Jian, Luan Jin, Chen Changjie, He Sangquan dan Chen Tianlong. Tapi kemudian Han Jian rontok oleh Morten Frost, Chen Changjie kalah oleh King, Chen Tianlong dihabisi Prakash. Hanya Luan Jin yang tembus ke semi final dan maju ke final setelah mengkandaskan Prakash.Langkah Luan Jin berhenti di final setelah ditundukkan Morten Frost 15-11, 2-15, 7-15.Tapi, prestasi di tunggal ternyata tidak diikuti oleh prestasi di ganda. Tidak ada satupun ganda putra China mampu menembus semi final.

(yang benar-benar spektakuler adalah prestasi putri mereka, hanya Lene Koppen (Denmark) yang mampu menembus keperkasaan putri-putri China di perempat final. Zhang Ailing akhirnya menjadi juara setelah mengalahkan rekan senegaranya Li Lingwei 11-4, 11-6).

Jadi, memang hanya China yang menjadi lawan paling potensial buat Indonesia. Dan memang Indonesia yang menjadi tujuan akhir China. Justru ketika sektor ganda Indonesia sedang tidak menentu dan tunggal putra yang hanya bertumpu pada King seorang.
Putaran Final Piala Thomas 1982.

Indonesia yang juara bertahan hanya menunggu di semifinal melawan Inggris (yang bersusah payah menang atas Malaysia 5-4). Seperti diramal, Indonesia menang 8-1. Satu-satunya kekalahan yang membuat risau adalah dari Kartono/Heryanto yang ditundukkan Mike Tredgett/Martin Dew 10-15, 1-15.

China, meskipun memulai pertandingan dari babak kualifikasi zona Asia, mendapat bye di babak perempat final dan langsung ke semifinal melawan Denmark. China lolos ke final menghantam Denmark, juga dengan 8-1.

Akhirnya pertemuan yang ditunggu-tunggu dunia, sejak kemunculan China 1974 terjadi juga. Indonesia sebagai pemegang supremasi yang sedang menurun dan China sebagai penantang, justru sedang menanjak!

Pertandingan final diselenggarakan di London, 20 dan 21 Mei 1982.
Analisa strategi sebelum pertandingan

Melihat prestasi ganda China di All England, 2 bulan sebelum pertandingan ini, yang hanya pada level “biasa-biasa saja“, Indonesia masih optimis mampu memperoleh 4 angka dari sektor ganda. Apalagi, hadirnya pasangan gado-gado yang terbukti sangat tangguh Christian/King! (salah satu ganda terbaik dunia sepanjang masa selain Park Joo Bong/Kim Moon Soo dan Chandra Wijaya/Tonny Gunawan). Hanya 1 angka lagi yang diperlukan dari tunggal dan Piala Thomas tetap di Indonesia! Untuk tujuan itu, dengan cerdas, Rudy dipasang sebagai tunggal ketiga dengan perhitungan tidak ada tunggal ketiga China yang mampu mengalahkan Rudy!.

Tapi China juga tak kurang strategi. Luan Jin yang seharusnya jadi tunggal pertama, dipasang di tunggal ketiga untuk menghadapi Rudy!
Malam Pertama.

King mengawali pertandingan dan menunaikan tugasnya dengan baik. Meskipun Chen Changjie melawan dengan gigih, terutama di set ke 2, King menang 15-8,15-13 (1-0 Indonesia). Lius Pongoh di tunggal kedua tidak mampu meladeni kecepatan Han Jian 5-15, 7-15. (Indonesia 1, China 1).Ganda utama Indonesia Kartono/Heryanto juga menunaikan tugasnya dengan baik, menundukkan Luan Jin/Lin Jiangli 15-8,13-15,15-9. (2-1, Indonesia).Christian/King, meskipun dipaksa bermain marathon set oleh ganda utama China Sun Zhian/Yao Ximing namun menang juga 15-10,12-15,15-8.

Malam Pertama Indonesia unggul 3-1. Dan yang paling melegakan, 1 angka tunggal berhasil diambil oleh King!
Malam Kedua.

Rudy ternyata tidak mampu menembus sang “Tembok China” Luan Jin 9-15,15-1, 9-15. Pertandingan kedua, King vs Han Jian menjadi sajian terdahsyat malam itu. Meskipun kalah, King berjuang habis-habisan. Pertandingan berjalan seru dan mendebarkan, Angka bergeser sangat ketat 12-15,15-11,14-17. Di partai ketiga Lius Pongoh si “bola karet” juga jatuh bangun memberikan perlawanan ngotot, meskipun kalah tipis atas Chen Changjie 17-18, 12-15.

3 angka tunggal di malam ke 2, diambil semua oleh China yang berhasil membalikkan keadaan. Dari unggul 3-1, Indonesia jadi tertinggal 3-4.

Semua beban, kini terletak dipundak pasangan Kartono/Heryanto sebagai pasangan nomor 1 dunia (meskipun belum ada peringkat) melawan pasangan China Sun Zhian/Yao Ximing, yang secara teknis selapis di bawahnya. Tapi ternyata pasangan Indonesia ini tidak siap untuk memikul beban mental seberat itu. Kelihatan sekali, terutama di set ketiga mereka bermain buruk, di bawah form terbaiknya, bermain serba salah dan tidak mampu keluar dari tekanan pasangan China yang bermain kesetanan.

Kartono/Heryanto yang diperhitungkan menang, nyatanya menyerah 14-17, 15-3, 1-15.

Dan……..Piala Thomas terbang ke China 3-5!

Di partai penutup, Christian Hadinata memberikan ‘hadiah hiburan’ sekaligus menambah panjang rekornya yang tak terkalahkan di ajang Piala Thomas. Ganda dahsyat Christian/King ini menghancurkan Luan Jin/Lin Jianli straight set 15-4, 15-11.

Skor akhir Indonesia vs China 4-5.

Epilog

China sukses melakukan “Vini, Vidi, Vici” dan memperpanjang ‘kutukan’ Piala Thomas. “Juara Baru selalu hadir pada kesempatan pertama” (Malaya merebut piala ini 1949 pada kesempatan pertama berpartisipasi. Demikian juga Indonesia 1958).

Berakhir sudah era Indonesia yang tak terkalahkan sejak 1958 (maaf, hilangnya Piala Thomas tahun 1967 buat saya, bukan karena kalah).

Pasangan Kartono/Heryanto menjadi bulan-bulanan pers, dan disebut sebagai “juara yang tak mampu memikul tanggung jawab”. Meskipun mereka juga menang sekali. Lius Pongoh yang 2 kali kalah juga tidak luput dari cercaan publik, meskipun dia sudah berjuang habis-habisan. Ajaibnya Rudy dan King baik-baik saja, meskipun juga kalah. Rudy Hartono mengakhiri sejarahnya di bulutangkis dunia yang ditulis dengan tinta emas, dengan kekalahan.

Meskipun kalah menyakitkan, cinta saya kepada bulutangkis Indonesia tidak berkurang.

Hidup Indonesia!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar