Selasa, 28 Februari 2012

Final Piala Thomas 1967 dan Penonton Istora

Meskipun sangat terlambat, saya ingin berbagi pengalaman saya ketika menjadi saksi mata peristiwa Final Perebutan Thomas Cup 1967, Indonesia vs Malaysia, meskipun dari mata seorang anak yang belum lulus SD.

Tergerak karena ingin berbagi, karena selama ber-tahun2 divonnis bahwa penontonlah yang memicu peristiwa itu. Bertahun-tahun opini publik kita sendiri memberi stigma negatif kepada penonton saat itu yang di “cap” terlalu anti Malaysia.

Tak dipungkiri, suasana ketika itu memang begitu, meskipun konfrontasi dengan Malaysia sudah diselesaikan secara damai setahun sebelumnya. Semangat “Ganyang Malaysia” masih tebal menggantung di Indonesia, juga malam itu di langit-langit Istora. Tapi hampir pada semua pertandingan, penonton terlihat santun, apalagi kalau memakai ukuran “kesantunan” penonton sekarang.

Yang amat jelas adalah, semangat patriotik ”Ke-Indonesia-an” itu terasa sangat kuat…..

Prolog

Meskipun maju ke final sebagai juara bertahan (juara 1964 vs Denmark 5-4), oleh sebab itu hanya menunggu pemenang Challenge Round, sebenarnya kondisi dunia Bulutangkis di tanah air waktu itu sedang berada pada titik nadir.

Pahlawan Piala Thomas Indonesia 1958 - 1964 Tan Joe Hock telah mengundurkan diri. Ferry Sonneville sudah berusia 36 th dan sudah beberapa saat tidak terlibat lagi dalam kompetisi. Pelatnas belum ada, jadi penyusunan ranking pemain didasarkan atas Kejuaraan Nasional, beberapa bulan sebelum pertandingan Piala Thomas digelar.

Kejuaraan itu dimenangi oleh seorang remaja klas 3 SMA asal Surabaya, Rudy Nio yang mengalahkan seniornya Muljadi (sebelumnya bernama Ang Tjin Siang) di final.

Tapi rupanya pengurus PBSI merasa gamang untuk mempercayakan Tunggal Utama Indonesia pada remaja tanpa pengalaman internasional itu, sehingga Ferry Sonneville dipanggil kembali (meskipun tanpa melalui kompetisi) sebagai Tunggal Utama.

Sektor ganda yang bertahun-tahun sebelumnya menjadi titik lemah Indonesia masih dipercayakan kepada Tan King Gwan (Darmawan Saputra)/Unang AP, penentu kemenangan Indonesia pada final Thomas Cup 1964 di Tokyo. Padahal, King Gwan saat itu juga sudah berumur 37 th!

Malaysia?

Tunggal Utama mereka Tan Aik Huang adalah juara All England 1966, dan finalis 1967 (kalah di final dari Erland Kops-Denmark). Ganda Utama mereka Ng Boon Bee/Tan Yee Khan adalah juara All England 1966 dan 1967 (All England waktu itu dianggap Kejuaraan Dunia tak resmi). Ditambah dengan Tunggal Kedua yang lagi ‘moncer‘ Yew Cheng Hoe (24 thn).

Dengan demikian tidak ada orang waras yang tidak mengunggulkan Malaysia.


Pertandingan Itu.

Pertandingan Final ini berlangsung di Istora Senayan, dalam 2 hari (9-10 Juni 1967)

Hari Pertama mempertandingkan 4 partai (2 tunggal dan 2 ganda). Hari Kedua 5 partai (2 tunggal dan 2 ganda disilang, ditambah tunggal ketiga). Syarat lain adalah minimal 1 orang pemain tunggal harus merangkap sebagai pemain ganda.

Partai pembuka adalah tunggal utama Indonesia Ferry Sonneville, kalah kecepatan oleh tunggal kedua Malaysia, Yew Cheng Hoe dan kalah dengan cukup mudah 9-15, 7-15. (Malaysia pecah telor, 0-1).

Remaja berusia 18 tahun kurang 2 bulan yang pada malam itu resmi bernama Rudy Hartono Kurniawan, tunggal kedua Indonesia, tampil pada partai kedua melawan Tan Aik Huang. Seakan ingin menunjukkan bahwa gelar Juara Seleksi Nasional yang didapatkannya bukan karena kebetulan apalagi karbitan, Rudy mencecar Tan dengan ‘overhead smash‘nya yang terkenal itu. (Ketika itu bila pemain bertangan kanan menerima lob di arah kirinya, biasanya diambil dengan pukulan backhand, berupa dropshot atau lob serang. Tapi Rudy mengambilnya dengan forehand smash. Badannya meliuk, indah namun amat mematikan! Ditambah dengan footworknya yang sempurna mengcover lapangan, seolah dia sedang menari balet.) Tan Aik Huang yang lebih berpengalaman dan juara All England itu tidak sempat berkembang dan kalah mudah 15-6,15-8. (Indonesia pecah telor 1-1).

Partai Ketiga adalah pertandingan menarik. Muljadi pemain spesialis tunggal, dipasangkan dengan Agus Susanto, kelihatan belum padu sehingga set ke1 kalah mudah 2-15 oleh Tan Aik Huang/Teh Kew San. Set ke 2 ternyata pasangan Indonesia memberikan perlawanan keras dan menang 18-15. Karena tidak beruntung saja set ketiga bisa dimenangi ganda Malaysia, 12- 15 (Indonesia ketinggalan 1-2).

Partai Keempat, sekaligus penutup pertandingan malam itu, pemain ganda peringkat 1 dunia Malaysia Ng Boon Bee/Tan Yee Khan tidak menemui kesulitan berarti dalam menundukkan veteran Indonesia Darmawan Saputra/Unang AP, 15-6, 15-7. (Malaysia unggul 1-3).

Penonton masih tertib (sekali lagi, apalagi untuk ukuran sekarang!), meskipun demikian Herbert Scheele beberapa kali berdiri, berjalan2 yang dianggap ‘overacting‘ oleh penonton.

Rasanya sisa malam itu seluruh rakyat Indonesia tidak nyenyak tidur. Olahraga kebanggaan Indonesia, di kandang sendiri, harus ketinggalan 1-3. Bagaimana besok?

Peristiwa itu

Malam Kedua dibuka dengan Ferry Sonneville tunggal utama Indonesia yang dikalahkan Tan Aik Huang nyaris tanpa keringat 2-15, 4-15. (Indonesia hampir kalah, 1-4).

Saat itu, tanpa komando, tanpa dirigen, penonton mulai kompak menyanyi “Hallo Hallo Bandung“, “Padamu Negeri“, hingga “Rayuan Pulau Kelapa“. (Bayangkan saja lagu dalam tempo lambat seperti “Rayuan Pulau Kelapa” bisa dinyanyikan secara utuh dan kompak!!)

Rudy Hartono di partai ke 2 membuktikan Indonesia masih ada dan menang (juga nyaris tanpa keringat) atas Yew Cheng Hoe, 15-5, 15-9. (Indonesia mendekat 2-4)

(Menarik diperhatikan bahwa Rudy Hartono, pada debut pertamanya di dunia Internasional tidak membiarkan lawan-lawannya meraih angka 10!)

Muljadi yang telat panas (seperti juga Susi Susanti, kemudian) menemui perlawanan alot veteran Malaysia 34 th, Teh Kew San di partai ke 3, meskipun menang straight set, 18-15, 15-4. (Indonesia makin dekat, 3-4).

Lagu yang dinyanyikan penonton semakin keras, dan nyaris tanpa berhenti, bahkan ketika pemain sedang konsentrasi melakukan servis. Wasit Kehormatan yang asal Inggris seperti duduk di atas bara, berkali-kali mondar-mandir hanya untuk menjadi bahan cemoohan penonton. Rupanya beliau menganggap bahwa penonton pertandingan bulutangkis haruslah tertib seperti penonton tennis.

Sungguh tidak beruntung undian pertandingan yang memaksa Muljadi hanya beristirahat 30 menit dan harus bertanding kembali di partai ke 4 bersama Agus Susanto (Ayah pemain ‘stylish‘ Indonesia, pemegang Medali Perunggu Olimpiade Barcelona 1992, Hermawan Susanto). Lawannya adalah jawara Malaysia Ng Boon Bee/Tan Yee Khan yang juara dunia, yang diharapkan (Malaysia!) mampu menghentikan perlawanan Indonesia, 5-3.

Harapan itu sepertinya akan terkabul, Muljadi yang belum pulih benar kondisi fisiknya jadi incaran ganda Malaysia, harus jatuh-bangun untuk kalah mudah set pertama 2-15. Set kedua kelihatannya juga akan mudah buat ganda Malaysia itu. Mereka sudah unggul jauh, dan hanya perlu 5 angka lagi dan Indonesia benar-benar harus merelakan Piala Thomas terbang ke Malaysia.

Tapi kemudian terjadilah keajaiban!

Muljadi yang pantang menyerah, mengubah taktik, berusaha menurunkan tempo permainan sambil menata napasnya. Berkali-kali dia minta ganti shuttle cock (hal yang belum umum dilakukan saat itu). Kalau ditolak, dia minta ganti raket. Lalu berlama-lama mengusap keringat, ganti kaos, mengikat tali sepatu di tengah lapangan ketika ganda Malaysia bersiap servis (bahkan kemudian mengganti sepatunya!). Ganda Malaysia protes, konsentrasi mereka pecah dan terpancing emosi, irama permainan menjadi kacau dan banyak melakukan kesalahan sendiri. Lob keluar, smash melebar, dropshot nyangkut. Dari ketinggalan 2-10, Muljadi/Agus berhasil memaksakan deuce 13-13.

Sampai disini bisakah dimaklumi emosi penonton yang meledak karena gembira? Ketika kondisi berbalik ‘from zero to hero‘ seperti itu, wajarkah kalau supporter Indonesia jadi histeris?

Keadaan baru benar-benar tak terkendali ketika ganda Malaysia yang kalah set kedua 15-18, menolak untuk melanjutkan pertandingan. Wasit Kehormatan ter-provokasi oleh tuntutan Malaysia dan menuntut Panitia untuk mengendalikan keadaan. Keadaan berangsur jadi chaos, kalimah sakti Ganyang Malaysia! mulai ramai diteriakkan.

Pertandingan kemudian dihentikan oleh Scheele.

Epilog.

Kejadian selanjutnya, Indonesia harus melanjutkan pertandingan yang tersisa di tempat netral. Karena Indonesia menolak (untuk dinyatakan ‘bersalah‘), Indonesia diputuskan kalah 6-3.

Tapi ulah penonton yang tidak tertib seperti itu ternyata bukan cuma milik Indonesia. 3 tahun kemudian penonton KL membalasnya dengan sama hebohnya, sama kurang ajarnya, tapi Tim Bulutangkis Indonesia tahun 1970 terlalu kuat untuk tuan rumah, meskipun didukung penuh oleh penonton. Indonesia di final menang telak 7-2 atas Malaysia.

Tahun 1992 Ardy Wiranata cs di Bukit Jalil harus menyaksikan spanduk raksasa yang dibentangkan supporter Malaysia “Garuda Fall” dan kalah 2-3 dari Malaysia di final.

Giliran Jakarta menjadi tuan rumah 1994, Indonesia yang sudah unggul harus kembali menerima provokasi Malaysia yang enggan meneruskan pertandingan setelah kalah 0-3.

Jadi, apakah malam itu supporter Indonesia memberikan perlakuan tak senonoh pada tamunya? Rasanya jawabannya sangat kompleks dan saling berkait sebab dan akibat. Yang jelas, saat itu Indonesia kalah karena keputusan, bukan karena kalah bertanding.

Senin, 27 Februari 2012

Ketika Lin Dan Bertemu Iie Sumirat


Siapapun yang tahu kondisi bulutangkis dunia sekarang ini pasti sepakat kalau ditanya siapakah tunggal putra paling top sekarang ini. Tidak usah dengan pertanyaan susulan : ”Resmi atau tidak resmi?“.

Ya, jawabannya pasti sama, Lin Dan asal China.

Bahkan menurut Taufik Hidayat, sulit untuk menemukan lawan yang mampu mengimbangi Lin Dan saat ini. Smashnya keras dan sulit ditebak arahnya sehingga sangat sulit diantisipasi, dan tidak seperti pemain type menyerang lain, pertahanan dan reaksinya sangat luar biasa.

Sekarang? Benar! Betapapun kita tidak suka, tapi kita harus jujur bahwa tidak ada satupun pemain dunia yang mampu menundukkannya (sekali lagi, sekarang). Kita harus menunggu lahirnya muka baru dengan bakat yang lebih baik atau, kita biarkan saja sampai sang waktumengalahkannya. Sampai dia mengundurkan diri tanpa terkalahkan, seperti ganda putra Korea Park Joo Bong/Kim Moon Soo atau ganda putri China Ge Fei/Gu Jun.

Tapi kalau dia disebut sebagai pemain terbesar sepanjang sejarah bulutangkis?

Ah, nanti dulu!

Mari, saya ajak anda semua berandai-andai. Andai saja semua para jawara bulutangkis itu hidup dijaman yang sama, dan saling berhadapan di suatu Kejuaraan Dunia yang disponsori oleh pabrikan EGP (Emang Gue Pikirin). Siapa kira-kira yang bisa menandingi keperkasaan Lin Dan?

Karena ini pengandaian saya (yang bukan pemain, bukan pakar dan bukan ahli analisa), sifatnya subyektif, maka saya, dengan segala hormat harus menganulir keikutsertaan Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Erland Kops (Denmark), Wong Peng Soon dan Eddie Choong (asal Malaya) apalagi Sir George Alan Thomas asal Inggris, karena saya tidak menyaksikan puncak kemampuan beliau-beliau tersebut.

Karena tidak punya pemain tunggal putra yang cukup perkasa menjagoi dunia, marilah kita sisihkan saja Jepang, Korea (Selatan) dan Thailand. India memang punya Prakash Padukone serta Gopichand Pullela, tapi rasanya tidak akan mampu meladeni berondongan smash dan chop silang punya Lin Dan.

Denmark punya banyak pemain legendaris, Svend Pri, Flemming Delfs, Morten Frost, Poul Erik, tapi semuanya tidak ada yang benar-benar tanpa tandingan.

Malaysia? Li Chong Wei meskipun dahsyat, tapi seperti juga Taufik, juga kesulitan mengimbangi kecepatan sang “Super Dan“. Misbun dan Rashid Sidek? Tidak cukup istimewa untuk disebut bisa menandingi. Kredit khusus mungkin harus diberikan kepada Dato Punch Gunalan. Meskipun masa ‘edar’ pemain ini cukup singkat, tapi pola bermainnya yang cepat, pertahanannya rapat dan gigih mengejar bola, agaknya mampu mengimbangi kecepatan Lin Dan.

Pemain kita? Saya cenderung menilai bahwa generasi Alan Budi Kusuma, Ardy B. Wiranata, Joko Supriyanto, Haryanto Arbi tidak akan mampu menahan permainan cepat yang sempurna serta smash silang pemain China ini. Mungkin justru Hendrawan akan mampu, tapi dia tidak punya senjata andalan yang mampu menembus pertahanan Lin Dan yang rapat itu. Juga Lim Swie King meskipun smashnya luarbiasa kencang, tapi seperti pemain type serang lain, King tidak punya pertahanan cukup efektif menahan serangan. Lagian King kelihatan, bahkan di masa jayanya, kesulitan menghadapi pemain China. Icuk Sugiarto? Maaf, tapi menahan Yang Yang saja tidak mampu. Mulyadi? Mungkin pertandingan akan rame dan ketat, tapi saya tidak yakin Lin Dan bisa dikalahkan.

Sang Maestro kita Rudy Hartono? Di masa jayanya (1968-1973) saya yakin akan mampu mengatasi. Apalagi dengan sistim nilai yang dipakai dahulu (bukan rally point seperti sekarang). Smash silang Lin Dan akan menemui tembok pertahanan Rudy yang didukung tarian baletnya untuk mengcover lapangan. Meskipun smashnya beberapa kali tembus, stamina Lin Dan pasti terkuras di sini. Netting tipis Lin Dan akan ketemu netting ekstra tipis Rudy. Lob serang Rudy yang mematahkan pinggang serta chopnya yang dilepaskan mendadak akan membuat Lin Dan pontang panting. Kalau pertandingan harus diselesaikan dengan rubberset, Rudy yang unggul stamina bisa dan pasti menang. Sayangnya pada Kejuaraan Dunia EGP (Emang Gue Pikirin) ini, Rudy tidak ikut (hehehe, cape deh, udah cerita ngotot!).

Jadi, siapa lagi yang mampu?

Ya betul, ’si anak nakal bin urakan’ yang angin-anginan itu, Iie Sumirat!

Sehari sebelum final, dalam konferensi pers, yang dihadiri wartawan seluruh dunia, Iie dengan santai berujar “Ah, iraha deui, bebeakan wae lah, sugan da moal paeh di lapangan“. Penterjemah asal Tapanuli yang cuma bisa menterjemahkan bahasa Indonesia ke Inggris, bengong seperti kena smash!

Malam ini, kedua pemain muncul ke lapangan diiringi standing ovation dari penonton.

Lin Dan dengan gayanya yang flamboyan mengenakan jersey kutung sebatas pangkal lengan (seperti uniform pemain bulutangkis sekarang) berwarna kuning-merah seragam tim China dengan celana hitam. Rambutnya yang dulunya jabrik dan crew-cut, sekarang ditata oleh hair stylist sehingga enak dilihat. Dengan tinggi 1,78m fisik Lin Dan sungguh atletis dan mempesona.

Iie Sumirat? Dengan tinggi badan hanya 1,68 m dengan tampilan sedikit membungkuk, perbandingan fisik mereka mirip Daud vs Goliath. Jerseynya berwarna orange ngejreng (gak tau kostum dapat dari mana) Rambutnya yang gondrong sebahu, cukup dikat dengan karet gelang, ga rapih pula. Sepatunya yang kanan berwarna merah, yang kiri berwarna kuning. Tunggulah sampai kamera tivi meng-close up, kuku tangannya yang panjang akan kelihatan dicat berwarna-warni.

Ketika pertandingan dimulai, penampilan Iie yang terkesan seperti “aneh” atau “sekadar cari sensasi” itu hilang seketika. Kedua pemain tampak berhati-hati. Lin Dan tidak terburu-buru mengeluarkan senjata mautnya, dan Iie yang memang tidak punya smash yang kencang, meladeni permainan lambat ini.

Iie yang mengembalikan netting Lin Dan dengan netting silang (senjata yang sudah diturunkan kepada muridnya Taufik Hidayat, sehingga Lin Dan mudah saja menduganya) sudah ditunggu Lin Dan di depan net, langsung disambar dengan chop (angka, Lin Dan). Tapi senjata Iie bukan cuma itu. Dropshot Lin Dan ke arah kanan Iie berhasil dikembalikan. Melihat posisi tubuh, pandangan mata dan posisi raket Iie, pengembalian bola pasti akan berupa netting silang kearah kanan depan bidang permainan Lin Dan. Lin Dan segera maju kearah net sambil bersiap melakukan chop kembali.

Ternyata dugaannya salah, bola dikedut oleh Iie, cepat sekali, dan jatuh dibidang kiri belakang Lin Dan (angka, Iie). Iie yang sadar betul akan dahsyatnya smash Lin Dan, berusaha menurunkan bola semaksimal mungkin. Tapi beberapa kali Iie harus mengembalikan pukulan dengan lob tanggung. Pukulan inilah jadi ‘makanan’ Lin Dan, Iie yang tidak punya pertahanan dan footwork sebagus Rudy, hampir pasti mati langkah. Tapi pukulan kedut Iie juga makin menggila, Lin Dan yang punya pertahanan super juga akan ‘menari‘ di lapangan mengejar bola Iie.

Lagian, sulit sekali menduga isi-kosongnya pukulan Iie. Diduga akan dikedut ternyata tidak dan sebaliknya. Smash Iie yang mengambang yang diejek oleh Lin Dan sebagai: “Ah, smash cemeeen!” kemudian menemukan bentuk terbaiknya. Smash Iie yang ‘cemen’ itu ternyata membentur net akan jatuh di bidang permainan Lin Dan dengan arah yang sangat ‘liar’, tidak terjangkau. Kebetulan? Kalau kejadian itu cuma sekali, mungkin saja. Tapi Iie melakukannya berkali-kali.

Siapa yang menang? Silahkan meneruskan sambil berimajinasi sendiri hehehe.

Tapi kalau Iie Sumirat bertanding dalam form terbaiknya seperti yang saya ceritakan di atas, Lin Dan akan pensiun sebagai “Super Dan“.

Masalah yang paling besar adalah Iie tidak selalu tampil prima, dalam satu turnamen bisa-bisa saja dia kalah dengan pemain dengan kualifikasi “yang tidak-tidak“. Penampilannya tidak konstan seperti Rudy, Mulyadi, atau yang lain.

(Iie Sumirat, lahir di Bandung, 15 November 1950, adalah salah satu tokoh dari “The Indonesian’s Magnificent Seven“: Rudy, King, Iie, Tjuntjun, Johan, Christian dan Ade Chandra. Mereka ditahun 1976-1979 tidak terkalahkan dimanapun, biarpun seluruh dunia bergabung. Iie Sumirat menjadi ‘jawara’ bukan karena permainannya lengkap seperti Rudy, smashnya dahsyat seperti King, pertahanannya yang kokoh seperti Hendrawan atau gigih pantang menyerah seperti Mulyadi. Tetapi karena pukulan kedut (flick)nya. Dalam posisi sulitpun, seperti ketika terjatuh, pukulan itu bisa keluar, dan justru membuat lawan mati langkah. Biasanya bolanya tidak terlalu cepat sehingga bisa dinikmati penonton, tapi arahnya yang ‘aneh’ membuat lawan terlambat atau salah bergerak untuk mengantisipasinya. Meskipun hanya lebih muda setahun dari Rudy dan sudah masuk Tim Thomas Indonesia sejak 1970 sebagai pemain cadangan, perjalanan Iie ke puncak karier boleh dibilang tidak se’mulus’ Rudy. Sifatnya yang angin-anginan dan pemberontak, mirip sekali dengan arah bolanya menjadi penyebabnya. Diperhitungkan menang, ternyata kalah. Direncanakan sebagai pemain utama, dia kabur dari Pelatnas. Kehadiran pelatih Tahir Jide di Pelatnas ternyata mengubah Iie. Disamping fisik dan staminanya membaik, kecepatan dan kekuatannya bertambah, dan yang paling penting mampu memberikan motivasi baru untuk menjadi yang terbaik. Gantung raket seusai Piala Thomas 1979, dan menjadi pelatih di klubnya yang kemudian bernama SGS Elektrik. Salah satu anak didiknya adalah Taufik Hidayat, meskipun sang murid tidak menyerap seluruh kemampuan ‘pukulan kedut’ gurunya)

Betul, meskipun ini cuma imajinasi, dan penuh haha hihi, tapi bukannya tidak berdasar. Gaya Lin Dan sekarang ini mirip sekali dengan gaya permainan Hou Jiachang, legenda China 1970an. Keras, kencang, smash silang yang sangat sulit ditebak arahnya dan pertahanan yang apik. Tapi toh Iie Sumirat berhasil menjinakkannya 12-15, 15-8, 18-13 di final Invitasi Dunia Bangkok, Maret 1976 yang diselenggarakan oleh WBF, badan dunia tandingan IBF bentukan RRC.

Tahun 1973 RRC mendaftarkan diri sebagai anggauta IBF. Terkendala oleh hadirnya Taiwan yang lebih dulu menjadi anggota dengan nama resmi “China“, IBF menolaknya.

Setelah itu, mereka melakukan “diplomasi bulutangkis” memperkenalkan kedahsyatan pemainnya. Pemain mereka Hou Jiachang dan Tang Hsien Hu (putra) serta Liang Chiu Hsia dan Chen Yu Niang (putri) menaklukkan seluruh pemain bulutangkis dunia, tanpa pernah kehilangan satu set pun! Awal 1976 dengan dukungan negara anggota IBF asal Asia mereka mendirikan WBF (World Badminton Federation) sebagai tandingan IBF. Maret 1976, WBF menyelenggarakan Invitasi Dunia di Bangkok yang hanya diikuti negara-negara Asia pendukungnya, serta mengundang Indonesia!

Pertemuan Indonesia-China ini memang sangat ditunggu, terutama karena Indonesia punya seorang Rudy Hartono yang sudah 7 kali juara All England. PBSI terlihat ambigu menyikapi tantangan ini, terutama karena waktunya yang bersamaan dengan All England. Tetap menyimpan Rudy, King serta Tjuntjun/Johan Wahyudi dan mengirim ke All England, tapi juga mengutus Iie Sumirat, Dhany Sartika serta ganda Christian/Ade Chandra ke Invitasi ini.

Saat itu Rudy sukses memenangkan All England nya yang ke 8, mengalahkan King di final, tetapi ganda Tjuntjun/Johan kandas di semi final oleh Bengt Froman/Thomas Kihlstroem asal Swedia. Di Bangkok? Si Seniman ‘urakan’ itu menghabisi Tang Hsien Hu di semi final dan menjadi juara setelah menekuk Hou Jiachang (yang sebelumnya tidak pernah kehilangan satu set pun!) di final. Christian/Ade Chandra juga sukses mengalahkan Hou/Tang di final. Hanya Verawaty, meskipun menang atas Chen Yu Niang di semi final, tapi kalah oleh Liang Chiu Hsia di final dengan rubber set

Kapan lagi ya kehebatan Indonesia ini terulang di dunia nyata, tidak sekadar imajinasi saya saja?


Piala Thomas 1970, Pembalasan yang Manis


A. Tim Indonesia di Thomas Cup 1970

Kali ini tidak ada seorangpun yang meragukan pilihan PBSI dalam menentukan susunan tim Piala Thomas 1970 ini. Wartawan, Kritikus, Masyarakat Umum, apalagi internal PBSI sepakat bahwa inilah susunan tim terbaik dari materi pemain yang ada, Selain pilihannya memang atas dasar seleksi dan Pelatnas (meskipun bukan jangka panjang seperti sekarang).

Sang Rajawali (Rudy Hartono, 20 tahun) sudah tumbuh kuat, bentangan sayapnya sudah meliputi dunia. Rasanya tidak ada lawan yang akan mampu menjinakkannya. Juara All England sudah 3 kali dibawanya pulang.

Si Nomer 2 (itu memang julukannya) Muljadi, 27 tahun (masih ejaan lama, harap dibaca sebagai Mulyadi) sedang berada di puncak. Sudah 3 kali memperkuat tim Piala Thomas Indonesia. Api yang ada di dirinya belum tampak akan menyurut. Penampilannya di tunggal Thomas Cup sungguh sempurna, belum pernah kalah!.

Tunggal Ketiga akhirnya dipercayakan juga kepada Darmadi (Wong Pek Sien), 27 tahun. Tidak ada lagi yang meragukan kapabilitas pemain ini, apalagi setahun sebelum final digelar (1969), dia menciptakan All Indonesian Final untuk kedua kalinya bagi Indonesia (yang pertama tahun 1959, Tan Joe Hock vs Ferry Sonneville) di arena akbar (ketika itu), All England.

Cadangan di Tunggal adalah Djaliteng, 24 tahun terutama karena kemampuannya bermain ganda, dan si Seniman, pemain eksentrik yang angin-anginan, Iie Sumirat 20 tahun.

Sektor ganda, diisi oleh pasangan Indra Gunawan/Nara Sudjana dan Indratno/Mintarja (Mintarya: EYD). Meskipun masih menjadi titik lemah tim Indonesia, karena tidak dominan seperti tunggal, tapi semua sepakat bahwa ini adalah pilihan terbaik. (Nara Sudjana kakak kandung Iie Sumirat dan Indra Gunawan sekarang sering jadi komentator di tivi).

Karena masih ada ketentuan satu pemain tunggal harus merangkap pemain ganda, kemungkinan susunan pemain ganda bisa menjadi Rudy/Indratno, Rudy/Indra Gunawan, Mulyadi/Mintarja atau Djaliteng/Indra Gunawan.

B. Pertandingan Zona

Karena bukan lagi sebagai juara bertahan, Indonesia harus bertanding dari ‘kampung ke kampung’ seperti ketika merebut Piala Thomas 1958. Sialnya, berkat tuduhan miring dunia bahwa publik Istora adalah supporter yang ‘ganas’, tahun 1970 ini tidak satu kalipun Indonesia bermain di kandang. Sialnya lagi, Indonesia masuk dalam grup zona Asia bersama Pakistan, India, Hongkong, Thailand dan Jepang.

Tim bulutangkis Jepang tahun itu adalah tim bulutangkis terkuat dalam sejarah Jepang dalam keikutsertaannya di Piala Thomas. Tunggal kedua mereka Masao Akiyama pernah mencapai final All England 1966, dan ganda Ippei Kojima/Masao Akiyama adalah semifinalis All England tahun itu. Thailand? Tunggal Utama veteran Sangob Ratanasorn dan pemain muda Bandid Jayjen (yang kemudian sering menyulitkan Rudy) jadi jaminan mutu, apalagi mereka main dikandang sendiri. Grup ini, adalah ‘grup neraka’, terutama karena hanya juara grup yang lolos ke babak Interzona selanjutnya.

Hadangan Indonesia yang pertama adalah India, di Jaipur. Indonesia tidak menemukan kesulitan berarti, India tunduk dengan 2-7.

Drama yang sebenarnya terjadi di babak berikut. Publik Bangkok ternyata sama ganasnya dengan publik Istora. Hari pertama Indonesia-Thailand berbagi angka 2-2. Hari kedua Rudy menemui lawan keras dari penonton, tapi dapat melibas Bandid dengan 17-14, 15-9. (Indonesia unggul 3-2). Tunggal kedua Muljadi, di set pertama sudah unggul 6-1 atas Sangob, protes kepada wasit karena smashnya yang masuk dianggap keluar. Ketika perdebatan masih terjadi, publik yang mencemooh, melempar Muljadi dengan botol minuman (ketikaitu botol minuman dari beling loh!).

Muljadi sebenarnya tidak terganggu, tapi official Indonesia yang tersinggung berat menarik Muljadi keluar dari lapangan dan tidak bersedia melanjutkan pertandingan. Malam itu juga Indonesia dinyatakan kalah w.o. 3-6! Indonesia kemudian mengajukan banding ke IBF (sekarang WBF). Beruntunglah Indonesia punya pelobby kuat seperti Drs. Sudirman (ketua PBSI kala itu). IBF menganulir keputusan OC, memutuskan Muljadi kalah (3-3) tapi mengharuskan 3 pertandingan sisa harus diteruskan di Hongkong. Gantian Thailand yang ogah dan Indonesia dinyatakan menang 6-3. (Pembalasan Manis Pertama).

Tapi adrenalin yang terpacu belum berhenti sampai disini. Entah dengan alasan apa, tim tidak memainkan Muljadi pada partai krusial melawan Jepang di Kyoto. Karena ternyata bulutangkis memang kurang populer di Jepang, pertandingan dilakukan nyaris tanpa penonton. Meskipun demikian, Indonesia harus dengan susah payah berjuang sampai partai terakhir. Dan lolos dari lubang jarum 5-4, terutama dari 4 angka yang dipersembahkan Rudy (2 tunggal dan 2 ganda). Nyaris saja!

C. Pertandingan InterZona

Semua pertandingan play-off Interzona dan Final diadakan di Kualalumpur, Malaysia.

Indonesia tidak lagi menemui lawan seimbang, menekuk New Zealand juara Zona Australia di babak pertama 9-0, dan di semi final membenamkan Canada, juara zona Amerika juga 9-0. Demikian perkasanya Indonesia sehingga tunggal pertama dan tunggal kedua Canada. Jamie Poulson dan Wayne McDonnel dalam 8 set pertandingan melawan Rudy dan Muljadi, hanya memperoleh angka 21 (rata2 2,63 poin saja setiap set!). Indonesia ke Final!

Malaysia yang juara bertahan terkena peraturan baru IBF. Bila sebelumnya juara bertahan hanya ‘duduk manis’ menunggu pemenang Challenge Round/Interzona, sekarang harus ikut bertanding, meskipun cuma sekali, dan di Semi Final. Tapi lawan pertama dan satu-satunya Malaysia di babak ini ternyata bukan lawan kacangan, juara zona Eropa, Denmark!


Tapi Denmark, yang sebenarnya lebih diunggulkan punya masalah besar sebelum bertanding. Tunggal ke 3 mereka, veteran Erland Kops yang memprotes keputusan IBF yang meng anulir keputusan OC di Bangkok. Keputusan yang, menurut dia, meng-anakemas-kan tim Indonesia. Dia membatalkan keikutsertaannya di Piala Thomas sesaat sebelum tim Denmark berangkat ke KL. Kemudian ternyata pemain Denmark yang baru pertama kali main di daerah tropis, gagal ber aklimatisasi melawan iklim panas dan lembab. Tunggal Utama mereka, Svend Pri, 25 tahun terkena diare hebat dan tidak mampu bertanding. Denmark akhirnya membiarkan tunggal utama ini kosong (memberikan angka gratis 2-0 kepada Malaysia). Tapi ternyata Malaysia yang hanya memerlukan tambahan 3 angka dari 7 partai sisa yang diperebutkan, tidak mendapatkannya dengan mudah. Tunggal kedua Denmark Elo Hansen mendapatkan 2 angka atas kemenangannya dari Tan Aik Huang dan Gunalan, Veteran Tom Bacher menang atas tunggal ketiga Malaysia Abdul Rahman. Bahkan Hansen/Bacher nyaris menjadi pahlawan Denmark, karena hanya kalah rubber set dari Gunalan/BoonBee di partai terakhir. Malaysia maju ke Final dengan babak belur, 5-4.

D. Strategi Malaysia

Meskipun lebih diunggulkan, sebenarnya di atas kertas kekuatan Indonesia dan Malaysia, jujur harus diakui, seimbang. Kalaupun menang, Indonesia mungkin hanya mampu menang 5-4, atau paling sial (buat Malaysia) 6-3.

Tan Aik Huang, 25 tahun, masih jadi tulang punggung tim.

Tunggal kedua Punch Gunalan 26 tahun meskipun ‘rookie’ di arena Thomas Cup, tapi jauh lebih unggul dari Yew Cheng Hoe yang sudah mengundurkan diri. Satu-satunya kelemahan Malaysia di Tunggal hanyalah tunggal ketiga Abdul Rahman Muhammed 21 tahun yang juga new comer. Ganda Utama mereka Gunalan/Ng Boon Bee masih merupakan ganda utama dunia. Tan Yee Khan yang mengundurkan diri digantikan sempurna oleh Gunalan. Setahun kemudian (1971), ganda ini menjadi juara All England. Ganda kedua Tan Aik Huang/Ng Tat Wai hanya kalah tipis dari ganda utama. Jadi sebenarnya Malaysia patut percaya diri menghadapi Indonesia. Apalagi, pertandingan ini dilakukan di kandang sendiri.

Tim Malaysia juga ternyata pandai berhitung.

Malaysia menghitung, tidak ada satupun pemain tunggal Malaysia yang mampu menahan tunggal utama dan kedua Indonesia Rudy-Muljadi. Tunggal ketiga Malaysia Abdul Rahman hampir pasti akan kalah juga oleh Darmadi. Jadi tidak ada gunanya mendapat 4 angka dari ganda, kalau dari tunggal mereka kehilangan 5 angka. Jadi, mereka bertekad ingin mencuri 1 angka di tunggal sambil memastikan 4 angka dari ganda.

Karena itu Tan Aik Huang dipasang menjadi tunggal ketiga dan bertugas harus mendapat 3 angka (1 dari tunggal dan 2 dari ganda). Ganda utama Gunalan/Ng Boon Bee, dipastikan menyumbang 2 angka. Apalagi, pertandingan ini dilakukan di kandang sendiri.

Tapi ternyata pertandingan tidak berjalan sesuai rencana. (Bola bundar, kata orang sepakbola).

Pertandingan final ini diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 5 dan 6 juni 1970.

E. Final Hari Pertama

Sebagaimana biasanya, Muljadi yang telat panas, ketinggalan lebih dulu 0-4 oleh Punch Gunalan. Dukungan penonton yang gegap gempita, ganas dan tidak kalah kurangajarnya oleh penonton Istora 1967. Pertamakali terlihat di arena Piala Thomas, ada lambaian bendera raksasa di tribun Stadion Negara KL. Lambaian bendera besar yang disertai kibaran bendera kecil yang tidak seragam, betul-betul menjengkelkan (penonton Indonesia, maksudnya!). Penonton Malaysia memang kreatif. Tapi kelihatan sekali kalau Muljadi tidak terganggu dan ekspresi mukanya tetap “dingin”. Justru riuh rendah dukungan ini kelihatan jadi bumerang, Gunalan kelihatan demam panggung, langkahnya kelihatan berat. Mulyadi menang relatif mudah 15-9, 15-5. (1-0, Indonesia).

Rudy Hartono, benar-benar jadi sasaran “tembak” penonton. Bermain serbasalah sehingga cukup sulit untuk melewati set 1, tapi kemudian ritmenya pulih kembali di set 2 dan tidak membiarkan Abdul Rahman ganti napas. 15-12, 15-2. (2-0, Indonesia).

Istirahat 30 menit, Rudy turun kembali ke lapangan bersama Indra Gunawan melawan ganda Malaysia yang lebih segar Tan Aik Huang/Ng Tat Wai. Ternyata Aik Huang tidak mampu melepaskan diri dari stigma “selalu kalah” ketika ketemu Rudy, dan Tat Wai juga tidak mampu mengangkat moral pasangannya itu, sehingga kalah straight set saja 9-15, 11-15. (Indonesia 3-0).

Partai ke 4 yang mempertemukan pasangan no.2 Indonesia Indratno/Mintarja dengan pasangan utama Malaysia Gunalan/Ng Boon Bee menjadi pertandingan paling “panas” malam itu. Meskipun akhirnya kalah tapi pasangan Indonesia itu amat gigih, jatuh bangun mengejar bola dan setiap angka tidak didapat dengan mudah. Pertandingan memakan waktu hampir 1 jam (57 menit), 7-15, 15-13, 10-15.

Hari pertama Indonesia unggul 3-1. Pembalasan manis kedua. (Tahun 1967 hari pertama, Indonesia kalah 1-3 di kandang).

F. Final Hari Kedua

Strategi Malaysia untuk mencuri 1 partai tunggal dari Indonesia akhirnya berhasil. Tunggal ke 3 Indonesia Darmadi, membuka pertandingan melawan Tan Aik Huang yang ditempatkan sebagai Tunggal ke 3 Malaysia. Darmadi memberi perlawanan keras, meskipun akhirnya kalah 12-15, 12-15 (Malaysia memperkecil ketinggalan, 2-3).

Muljadi yang turun di partai kedua langsung menggebrak dalam tempo tinggi dan tidak membiarkan Abdul Rahman untuk berkembang, dan menang 15-5, 15-5 dalam waktu hanya 10 dan 12 menit!). (Indonesia selangkah lagi, 4-2).

Rudy Hartono yang turun sebagai pemain kunci penentu kemenangan Indonesia kelihatan bermain tegang. Terburu-buru ingin menang, memperbanyak smash yang ternyata malah membuatnya mati langkah sendiri ketika lawannya mampu mengembalikannya. Sebaliknya Punch Gunalan menunjukkan kelas sebenarnya, tidak lagi demam panggung seperti hari pertama. Bola sulit Rudy gigih dikejarnya dan dikembalikan sama sulitnya. Angka berkejaran ketat dan Rudy selalu tertinggal 1-3, 4-7, 11-13, 13-14, 15-15,16-16 dan penonton baru benar-benar percaya Rudy menang set pertama, ketika pengembalian bola Gunalan nyangkut 17-16. Tapi penonton menyaksikan, rasa percaya diri Rudy kembali pulih di set ke 2, bermain sabar tidak lagi terburu2 smash. Permainan Gunalan diladeninya dengan tarian balet yang sangat stylish itu, netting sangat tipis dan lob akurat. Gunalan dikocoknya habis meskipun akhirnya kalah 12-15. Di set penentuan setelah istirahat 5 menit ternyata tidak membuat Gunalan pulih. Gunalan kelihatan benar kalau kehabisan “bensin”. Permainan cepat yang kembali diperagakan Rudy membuat Gunalan kedodoran. Bola silang Rudy sering dibiarkannya saja, karena kehabisan napas. Rudy akhirnya memenangkan set penentuan ini dengan mudah 15-3. Riuh rendah dan gegap gempitanya penonton pendukung tuan rumah ternyata tidak banyak mempengaruhi performa Rudy. Bahkan Gunalan dengan sportif beberapa kali berusaha menenangkan penonton.

Indonesia menang 5-2 dan Piala Thomas kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi!

2 partai ganda yang tersisa, meskipun tidak lagi menentukan, tetapi tetap berlangsung menegangkan dan ‘panas’. Semua berakhir dengan rubber set. Askar Diraja Malaysia kelihatan tidak patah semangat, pasukan Indonesia juga bermain sungguh-sungguh demi kehormatan diri, dan penonton harus diberi apresiasi, karena meskipun telah kehilangan Piala Thomas, tetapi tetap konsisten mendukung tim negaranya sambil tetap tidak bosan mengejek penampilan saudaranya serumpun.

Rudy Hartono/Indra Gunawan menang dengan susah payah atas Gunalan/Ng Boon Bee 9-15, 17-16, 15-6. Dan Indratno/Mintarja berjuang sangat ngotot, jatuh bangun untuk lolos dari lubang jarum, dan menang atas Tan Aik Huang/Ng Tat Wai 10-15, 18-16, 15-10. Hasil akhir 7-2 untuk Indonesia.

G. Epilog

Strategi Malaysia untuk mencuri 1 tunggal dari Indonesia berjalan baik. Tapi 4 angka ganda yang dihitung menjadi milik Malaysia, ternyata 3 diserobot Indonesia. Sebaliknya kemenangan 3 partai ganda ini menjadi awal kebangkitan dan kejayaan ganda putra Indonesia, sampai kini!. Pengurus PBSI menjadi yakin harus sesegera mungkin menyusun ganda tangguh melalui pelatnas jangka panjang, karena angka yang disumbangkan ganda, sama nilainya dengan angka dari tunggal. Pembinaan sektor ganda tidak lagi menjadi anak tiri. Pasangan Indratno/Mintarja dan Rudy/Indra Gunawan ini juga ‘ditemukan’ di Pelatnas.

Rudy Hartono sudah di puncak performanya, menjalankan tugas dengan sangat baik dan mempersembahkan 4 angka untuk Indonesia (2 tunggal, 2 ganda). Sekedar catatan, ganda Indonesia Rudy/Indra Gunawan bertemu kembali dengan ganda Malaysia Gunalan/Boon Bee, di final All England setahun kemudian (1971). Justru di tempat netral inilah, ganda Malaysia ini berhasil membuat revans dan menjadi juara.

Berkat lobby Ketua PBSI Drs. Sudirman dan kenyataan di lapangan, akhirnya IBF menyadari bahwa sikap penonton yang ‘riuh rendah’ dan ‘kurangajar’ tidak hanya menjadi ‘monopoli’ Indonesia. Pelan-pelan disadari bahwa penonton Asia lebih ‘panas’ dari penonton Eropa. Standar kelakuan penonton bulutangkis tidak lagi disamakan dengan penonton tennis yang lebih ‘beradab’.

Strategi Malaysia yang menempatkan tunggal utama mereka sebagai tunggal ketiga memicu ide IBF untuk menyusun sistim peringkat dunia bagi pemain. Di masa datang, penyusunan daftar pemain harus berdasarkan peringkat dunia pemain ybs dan tidak bisa diaduk-aduk seperti itu.

Diluar itu semua, kemenangan telak Indonesia 7-2 atas Malaysia di Kualalumpur ini, meskipun agak di luar perhitungan para pengamat, menjadi pembalasan sangat manis dari kekalahan menyakitkan akibat peristiwa Istora tahun 1967.

Anda setuju kan?


Piala Thomas 1973, Matinya Seorang Bintang


Indonesia tahun 1973 adalah super power di dunia bulutangkis. Bintang-bintang senior masih belum menyurut dan bintang baru bermunculan. Pembinaan yang sungguh berhasil. China meskipun sudah mulai di’cemas’kan, tapi masih berada dalam bayang kelabu. Sektor ganda putra yang bertahun-tahun menjadi titik lemah Indonesia, berbalik menjadi sektor penyumbang angka terbesar (sampai sekarang). Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Piala Thomas masih akan tetap berada di tanah air, siapapun lawannya dan dimanapun pertandingan dilangsungkan. Pasar taruhan hanya ramai pada tebak-tebakan angka. Pada angka berapakah lawan akan dihabisi, 9-0, 8-1, atau 7-2?. Bahkan tidak ada orang gila yang menebak Indonesia hanya bisa menang dengan susah payah, 5-4!

Rudy Hartono.

Rudy saat itu berada di puncak dunia, 6 gelarAll England sudah dibawanya pulang, berturut-turut setiap tahun sejak 1968. Setiap pemain bulutangkis yang menghadapinya akan menampilkan 2 kemungkinan, kalah sebelum bertanding atau justru mendapat semangat berlipat untuk mengalahkannya. Penampilannya yang elegan di dalam dan di luar lapangan menjadikannya selebriti. Meskipun media saat itu belum ’seganas’ media sekarang, tetap saja tidak ada kehidupan pribadi Rudy yang tidak dikorek pers.

Dalam kondisi seperti itu bisa dibayangkan hebohnya pers dan masyarakat ketika Rudy mencoba bermain film. (Film pertama dan terakhir Rudy adalah garapan sutradara Wahyu Sihombing, bersama Poppy Dharsono dan Farouk Affero,1971. Judulnya ‘Matinya seorang Bidadari‘ yang diplesetkan pers menjadi ‘Matinya seorang Bintang‘, usai kekalahan Rudy atas Svend Pri). Ajaibnya, film itu gagal di pasaran.

(Bukti bahwa masyarakat lebih menyukai Rudy sebagai pemain bulutangkis, bukan sebagai aktor).

Revolusi Ganda Putra

Indonesia sungguh beruntung memiliki seorang dengan talenta seperti Christian Hadinata. Terlahir sebagai Tjhie Beng Goat 11 Desember 1949 di Purwokerto, Christian muda, mahasiswa STO (sekarang UPI-Bandung) dipanggil masuk Pelatnas setelah memenangi Kejurnas Jogyakarta 1971 di ganda putra bersama Atik Jauhari. Di Pelatnas, oleh pelatih Drs. Sukartono dia di”jodoh”kan dengan Ade Chandra. Pasangan ini segera melibas dunia dan membuat revolusi cara bermain ganda.

Permainan mereka yang sangat cepat dan keras, pada mulanya dikritik dunia bulutangkis karena dianggap “merusak” pakem dan seni bermain ganda. Hilang sudah permainan rally-rally panjang diganti dengan serobotan cepat dan gedoran keras bertubi-tubi. Servis yang sedikit saja ‘naik’ di atas net berarti maut, karena segera langsung diserobot bahkan sebelum bola turun. Pengembalian tanggung akan menjadi bulan-bulanan pasangan ini. Bola di’tekan’ serendah mungkin dan angka memang bergeser jauh lebih cepat dari permainan tunggal. Pasangan ini menjadi ‘raja’ dunia sebelum di’turun’kan oleh pasangan senegara yang lebih tajam dan lebih cepat, TjunTjun/Johan Wahyudi.

Hebatnya, tahun 1973 itu Christian di ajang All England, menciptakan All Indonesian Final di tunggal putra (kalah oleh Rudy) dan juga di ganda putra (Christian/Ade mengalahkan pasangan baru, Tjuntjun/Johan Wahyudi).

Invitasi Nasional Bulutangkis 1972

Invitasi yang bisa dianggap sebagai Kejuaraan Nasional Bulutangkis ini diadakan di Solo, Agustus 1972. Masalah timbul karena pengurus menerapkan kebijakan bahwa hanya Rudy dan Christian/Ade yang dibebaskan dari keharusan mengikuti Invitasi untuk memastikan tempat di tim. Kebijakan ini sangat mengecewakan Mulyadi. Pahlawan tim Piala Thomas Indonesia 1964, 1967, dan 1970 ini menganggap dirinya sebagai ‘sepah yang dibuang’ PBSI. Hadir di Solo, terdaftar sebagai peserta, tapi kemudian mogok tidak ikut bertanding, pulang ke Surabaya dan mengumumkan akan gantung raket. Pengurus tergopoh-gopoh menyusul, merayu Mulyadi sambil meralat keputusannya, memastikan tempat Mulyadi di tim. Keputusan ini juga didasari atas hasil Invitasi yang tidak sesuai harapan. Djaliteng yang menjadi juara dinilai kemampuannya masih di bawah Mulyadi. Si seniman yang urakan yang diperhitungkan pengamat bakal jadi juara, Iie Sumirat justru tersungkur di perempat final. Invitasi ini hanya berhasil di sektor ganda putra dengan tampilnya Tjuntjun/Johan Wahyudi sebagai juara baru mengalahkan jago dan veteran PBSI Indra Gunawan/Nara Sudjana.
B. Pertandingan itu

Pertandingan diikuti 23 negara (termasuk Indonesia juara bertahan), dibagi dalam 4 zona. Zona Austral-Asia 3 Negara, Asia 6 Negara, Eropa 9 Negara dan Pan Amerika 4 Negara. Juara tiap zona lolos ke babak Antarzona (Intra-zone Play Off) di Jakarta.

Indonesia sebagai juara bertahan langsung ke babak kedua Antarzona (babak semi final), menunggu juara zona Asia. Semua pertandingan dengan sistim gugur. Meskipun China belum ikut bertanding, zona Asia menjadi grup maut terutama karena kehadiran 3 raksasa bulutangkis dunia (saat itu) Malaysia, Thailand dan Jepang.

Babak Kualifikasi Zona (Intra-zone Qualification)

Seperti diramalkan, pertemuan 3 raksasa Asia itu memang menjadi pertarungan hidup mati di lapangan. Malaysia beruntung lolos dari hadangan Jepang 5-4 dalam sebuah drama pertandingan terpanjang dalam sejarah Piala Thomas. Angka penting Malaysia didapat oleh Punch Gunalan yang mengalahkan Juji Honma dalam rubberset dengan set terakhir 17-16! Beda menang dan kalah yang sangat tipis!. 3 bulan kemudian Sang Dewi Fortuna tidak lagi bersama Malaysia ketika berhadapan dengan Thailand. Tan Aik Huang menderita kejang kaki ketika menghadapi tunggal kedua Thailand, Sangob Ratunasorn. Cedera yang tidak pulih hari berikutnya, dan Malaysia kehilangan kesempatan, kalah 3-6 oleh Thailand. (Kekalahan yang sangat disesali tidak saja oleh pendukung Malaysia, tetapi juga oleh supporter Indonesia!).

Di zona Eropa, Denmark tidak menemui kesulitan berarti ketika menggusur Jerman (Barat) 7-2 dan lolos ke Jakarta dengan mengalahkan Swedia 8-1.

Sumpah Svend Pri

Setelah sukses mengantarkan Denmark lolos ke babak Play Off, Svend Pri sebagai tunggal Utama Denmark tidak mempedulikan apapun juga kecuali Rudy, Rudy dan Rudy. Masalah Denmark yang masih harus berhadapan di semi final menunggu pemenang pertandingan India vs Kanada, tidak dipedulikannya benar. Dia bersumpah akan mengalahkan Rudy Hartono di kandangnya sendiri. Bahkan tidak peduli walaupun Denmark nantinya dibantai Indonesia. Menyadari bahwa dia selalu mengalami kesulitan kalau bertanding di daerah tropis (tahun 70 dia sakit di Malaysia yang membuat Denmark kalah 5-4 di semi final) dia dengan lugu mohon ijin berlatih bersama pemain Indonesia di Pelatnas. Ketika ditolak (pastilah!), dia berlatih sambil ber-aklimatisasi selama 3 bulan di Singapura.

Semi Final ( Babak Antarzona/Play off)

Babak pertama play off mempertemukan juara zona Pan Amerika, Kanada vs juara zona Austral-Asia, India. Bintang muda India yang pernah berlatih di Indonesia Prakash Padukone menunjukkan kelasnya. Meskipun mampu mempersembahkan 4 angka untuk negaranya tapi tidak cukup untuk menang. Kanada 5 India 4.

Babak Kedua tidak ada yang seru. Denmark menyingkirkan Kanada 9-0 dan Indonesia menggulung Thailand 8-1. Satu-satunya kekalahan Indonesia dibuat Mulyadi yang kalah rubberset oleh bintang muda Thailand Bandid Jaiyen.

Final!

Susunan terbaik tim Indonesia saat itu menurut pengamat ahli dan amatiran (seperti saya) adalah tidak memecah 2 ganda yang sudah sangat solid itu, dan menugaskan Christian (yang finalis All England 73) atau Tjuntjun (semifinalis Invitasi 72) sebagai tunggal ketiga sekaligus bermain rangkap. Dengan demikian Rudy Hartono akan fokus di tunggal. Tapi ternyata Pelatih dan Tim Manajer punya pertimbangan lain dengan memasang Amril Nurman sebagai Tunggal Ketiga, memecah pasangan Tjuntjun/Johan Wahyudi dan membiarkan Rudy bermain rangkap.

Pertandingan diadakan di Istora GBK (waktu itu namanya “Senayan” saja) tanggal 2 dan 3 Juni 1973. Penonton yang berjubel melebihi kapasitas idealnya yang 10,000 orang menjadikan ruang tertutup itu menjadi pengap. Angin yang sama sekali tidak diperkenankan lewat ditambah polusi asap rokok penonton, tidak mengurangi gairah mendukung Indonesia. Tapi, jujur harus diakui, bahwa semangat dan hiruk pikuk penonton tidaklah sehebat kalau yang dihadapi adalah Malaysia.

Pertandingan ini adalah pertemuan ulang 2 Negara di final Piala Thomas. Pertemuan pertama di Tokyo 1964 juga dalam posisi Indonesia juara bertahan. Kala itu Indonesia menang tipis 5-4. Pebulutangkis di final 64 yang masih bermain di final 73 ini adalah Mulyadi 30 tahun dan Henning Borch 33 tahun. Dua pemain ini bertanding di final 1964 sebagai tunggal ke 3 yang dimenangi Mulyadi 15-10,15-5.

Pertandingan hari Pertama

Mulyadi yang membuka pertandingan malam pertama, seakan tidak menemui kesulitan untuk menundukkan Elo Hansen, menang di set pertama 15-6. Tapi di set ke 2 Hansen bangkit dan balik menekan membuat Mulyadi kerepotan 10-15. Set ke 3 pemain Denmark itu tidak menunjukkan gejala kehabisan napas di daerah tropis dan pengap Istora. Gegap gempita penonton juga tidak berpengaruh dan Mulyadi terus tertekan. 0-3, 1-4, 2-8 (pindah lapangan) 5-10 dan dalam upaya mengejar bola Mulyadi, Hansen terjatuh. Setelah itu, kelihatan fisiknya terkuras mungkin karena cedera dan Mulyadi menutup set itu dengan kemenangan 15-10 (1-0 Indonesia).

Ternyata yang dihadapi Rudy sebagai tunggal kedua malam itu adalah Svend Pri yang kesetanan. Bola sulit Rudy dikejarnya jatuh bangun dan jungkir balik (dalam arti sebenarnya!). Overhead smash Rudy yang mematikan tidak lagi manjur karena hampir selalu kembali. Pri merebut set pertama 12-15 dan sengaja melepas set kedua untuk memulihkan napas 15-5, sambil secara kocak meladeni ejekan penonton. (Dia seketika membatalkan servisnya ketika diteriaki, membalikkan badannya ke arah penonton dan berakting seperti dirigen yang memimpin koor. Penonton yang tidak siap dengan tindak balasan itu, tertawa. Setelah itu ejekan menjadi jauh berkurang. Kapok, karena tidak manjur!). Set ketiga dia kembali habis-habisan dan angka berkejaran sangat ketat 1-1, 3-3, 5-5, 9-9, 11-11. Rudy berkesempatan mendapat macth point lebih dulu 14-11, tapi gagal menutup set karena dikejar Pri 14-14. Perlu 9 kali pindah bola sebelum Pri melaju 14-16, Rudy sempat menambah 15-16, tapi Pri menutup set itu, betul-betul untuk kemenangannya, Rudy tumbang menyakitkan di kandang sendiri 15-17 (imbang 1-1).

Pri melompat histeris, melepas kaosnya dan berlari keliling lapangan seolah Denmark sudah menang. Penonton kecewa, terperangah, dan tidak percaya kalau Sang Rajawali sudah kalah. Meskipun demikian untuk menghargai kegigihan dan semangat pantang menyerah Pri itu, penonton menyambutnya dengan ‘standing ovation‘. Sejujurnya pertandingan itu dikuasai Rudy yang terus menerus menekan. Tapi Rudy tidak siap menghadapi daya juang Pri yang kesetanan seperti itu. Gegap gempita penonton yang mendukung Rudy menjadi bumerang, karena malahan Pri yang makin menggila.

Tapi, hanya sampai disitu perlawanan Denmark. Semua ganda dimenangkan Indonesia straight set. Christian/AdeChandra tidak berkeringat mengalahkan Poul Petersen/Tom Bacher 15-3, 15-5 dan Tjuntjun/Rudy menang 15-7,15-6 atas Pri/Henning Borch. Malam Pertama Indonesia unggul 3-1

Pertandingan hari Kedua

Malam Kedua hanya menarik di set awal ketika Amril Nurman tidak mampu mengimbangi kecepatan Flemming Delfs 11-15, tapi setelah itu kelihatan Delfs seperti lampu kehabisan minyak dan menyerah 15-4, 15-4 (Indonesia unggul 4-1)

Mulyadi yang turun berikutnya hanya menemui Svend Pri yang sudah kehabisan motivasi dan menang mudah 15-11, 15-1. Di set ke 2 terutama kelihatan kalau Pri sudah ogah bermain dan sengaja membuang-buang bola. (Indonesia unggul 5-1 dan Piala Thomas tetap di Indonesia).

Elo Hansen tidak mampu memulihkan cederanya dan memberikan kemenangan w.o untuk Rudy (Indonesia 6-1). Dua pasangan Indonesia juga menyelesaikan tugas dengan baik. Christian/Ade vs Pri/Borch 15-2, 15-8 dan Tjuntjun/Rudy vs Petersen/Bacher 15-11,15-5. (Indonesia-Denmark 8-1).
C. Penutup

Svend Pri merealisasikan sumpahnya dan Rudy Hartono, meskipun didukung penuh oleh penonton, harus kalah di kandang sendiri. Kekalahan ini terulang 1975 di final All England ketika Pri menggagalkan upaya Rudy merebut gelarnya yang ke 8 secara berturut-turut. Tetapi menurut Rudy kemudian, kekalahan ini jauh lebih menyakitkan dari kekalahannya di All England.

Bisa membayangkan hujatan pers dan masyarakat? Sudahlah, saya tidak tega mengingatnya kembali. Kemenangan atas Denmark yang 8-1 menjadi hilang artinya oleh kekalahan Rudy itu. Padahal Rudy masih mempersembahkan 3 angka kemenangan lain.
Piala Uber 1975, menyandingkannya…..

Data dan Fakta

Diberi nama sesuai nama pemain putri legendaris Inggris tahun 1930an, Betty Uber, piala ini didesain dan dibuat oleh Mappin&Webb, Regenstreet,London berupa piala perak setinggi 20 inci, dengan bentuk bola dunia dihiasi patung pemain bulutangkis putri sedang mengayun raket. Diperebutkan sebagai Piala Bergilir Kejuaraan Bulutangkis Dunia untuk Beregu Putri Antar Negara. Dipertandingkan pertama kali tahun 1957, diperebutkan per 3 tahunan sebelum akhirnya penyelenggaraannya digabung dengan Piala Thomas 1984 dan dirubah menjadi tiap 2 tahun. Sampai tahun 2010, Kejuaraan Dunia ini sudah terselenggara 23 kali.

Betul! China paling sering membawa pulang Piala ini ke negaranya, 11 kali. Disusul Jepang 5 kali, lalu Indonesia dan Amerika Serikat 3 kali, baru kemudian Korea Selatan pertama kali membawa pulang Piala ini 2010 yang lalu.

Indonesia pemegang rekor dalam keikutsertaan pada putaran final bersama Jepang 19 kali, disusul Denmark 15 kali, baru China, Korea Selatan dan Inggris 14 kali.

Indonesia juga pemegang rekor sebagai ‘runner up’ 7 kali (kata orang yang sinis: “terlalu sering terjungkal di final” atau “spesialis nomer 2“), disusul Korea Selatan 5 kali, lalu China dan Denmark 3 kali.
Indonesia 1975

Mengawali keikutsertaan di Piala Uber sejak 1963, berturut2 kalah di babak pertama “play off”, oleh Inggris 2-5 (1963) dan oleh Jepang 2-5 (1966).

Indonesia baru diperhitungkan secara serius sebagai calon juara ketika legenda Indonesia Minarni (kemudian menjadi Minarni Sudaryanto) menjadi runner up All England 1968 (kalah di final oleh Eva Twedberg, Swedia) dan berpasangan dengan Retno Kustiyah ditahun yang sama mengalahkan pasangan Jepang Hiroe Yuki/Noriko Nakayama dan menjadi juara. (Jadi, tahun 1968 itu Indonesia membawa pulang 2 gelar juara, karena Rudy Hartono untuk pertama kalinya menjadi juara All England).

Dengan tulang punggung 2 srikandi itu Indonesia mencapai final berturut-turut di tahun 1969 dan 1972. Namun berturut-turut pula kalah oleh tuan rumah Jepang 6-1.

Di tahun 1975 itu secara kua-teknis kemampuan 2 srikandi itu sudah menurun. Retno Kustiyah bahkan sudah mengundurkan diri. Tapi Indonesia mampu ‘melahirkan’ bintang2 baru. Pasangan Theresia Widiastuti/Imelda Wiguna berhasil masuk final All England (kalah oleh pasangan Machiko Aizawa/Etsuko Takenaka). Dan tunggal utama Indonesia, Utami Dewi 24 tahun sedang menunjukkan grafik prestasi menanjak. Minarni yang praktis sudah mengundurkan diri dipanggil kembali untuk memperkuat sektor ganda bersama Regina Masli.

Indonesia dilanda euforia dan demam Piala Uber, apalagi kejuaraan berlangsung di Jakarta!. Meskipun secara teknis dan di atas kertas Jepang masih lebih unggul, tapi itu tipis sekali. Putri-putri Jepang itu juga harus menghadapi lawan lain yang sama seriusnya: hawa panas daerah tropis, pengapnya Istora dan……supporter fanatik tuan rumah!
Perjalanan ke final

Meskipun dengan format yang sama dengan Piala Thomas yang mempertandingkan 3 tunggal dan 2 ganda, pertandingan Piala Uber tidak menyilang pemain tunggal. Pertandingan hanya dilaksanakan dalam 1 hari dengan 7 partai (3 tunggal dan 2 ganda disilang).

Sebagai tuan rumah, Indonesia tidak mengikuti babak kualifikasi, melainkan menunggu juara zone Asia (Malaysia) di babak ‘play off’. Srikandi kita dengan dukungan penonton Istora tidak menemui kesulitan menekuk Malaysia 7-0.

Ujian sebenarnya baru tampil di semifinal melawan Inggris. Putri Inggris yang kesulitan bermain di daerah tropis sempat mencuri 2 point melalui Gillian Gilks (runner up All England 1975, dan tunggal utama Inggris) yang menundukkan Utami Dewi, dan pasangan ganda Margaret Beck/Gillian Gilks (juara All England 74) yang menang rubber set atas Minarni/Regina Masli. Tapi semua partai sisa dimenangi Indonesia 5-2. Kredit khusus patut diberikan kepada pasangan Theresia Widistuti/Imelda Wiguna (runner up All England 1975) yang mempersembahkan 2 point kemenangan penting atas Margaret Beck/Gillian Gilks dan Sue Whetnall/Margaret Boxall, 2-2nya dalam straight set.
Final

Pertandingan Final diselenggarakan di Istora Senayan 18 Mei 1975. Gegap gempitanya supporter Indonesia sudah pasti menjadi atraksi tersendiri (sayangnya saya tidak menjadi bagian diantaranya. Hanya menonton siaran langsung TVRI).

Pemain spesialis ganda Indonesia yang harus bermain rangkap di tunggal Theresia Widiastuti 21 tahun, membuka pertandingan malam itu. Tapi lawan yang dihadapinya adalah langganan juara All England, Hiroe Yuki. Tuti tidak berkutik dan kalah cukup mudah 7-11, 1-11 (Indonesia 0, Jepang 1).

Tunggal kedua Indonesia Tati Sumirah 22 tahun, bermain cepat dan keras menghadapi tunggal ketiga Jepang Atsuko Tokuda 19 tahun. Atsuko sama sekali tidak mampu mengembangkan permainannya melawan gedoran Tati, udara panas dan berisiknya dukungan penonton. Tati Sumirah menang mudah 11-5,11-2. (Indonesia 1, Jepang 1).

Diluar dugaan, tunggal utama Indonesia Utami Dewi (finalis eksebishi Olimpiade Muenchen 1972) meskipun dengan dukungan penuh penonton, tetapi bermain tidak dalam form terbaiknya. Menyerah cukup mudah oleh tunggal kedua Jepang Noriko Nakayama 5-11, 3-11 (Indonesia 1, Jepang 2).

(Ketika itu masih belum ada sistem peringkat pemain dan peraturan untuk memasang susunan pemain sesuai peringkat. Jadi Tim Indonesia kelihatannya sengaja untuk menghindari pertemuan Utami vs Yuki dan Tati vs Nakayama. Jadi Theresia Widiastuti sengaja di”korban”kan untuk kalah oleh Yuki. Diluar dugaan, Utami Dewi juga kalah oleh Nakayama).

Tapi 2 pasangan ganda putri Indonesia bermain sempurna dengan merebut 4 angka tersisa. Minarni/Regina Masli bermain kesetanan untuk menekuk lawan yang secara teknis selapis diatasnya, Etsuko Takenaka/Machiko Aizawa. Juara All England itu tumbang, tidak mampu bangkit di set ketiga karena kepanasan 15-6, 6-15, 15-9. (Indonesia 2, Jepang 2).

Ganda Utama Indonesia Imelda Wiguna/Theresia Widiastuti tidak menemui kesulitan untuk mengalahkan HiroeYuki/Mika Ikeda 15-4, 15-9. (Indonesia-Jepang 3-2).

Minarni/Regina Masli kembali bermain kesetanan untuk melibas HiroeYuki/Mika Ikeda 15-8, 15-11 dan memastikan Piala Uber menetap di Indonesia untuk pertama kalinya (Indonesia-Jepang 4-2).

Pertandingan terakhir malam itu adalah pertandingan ulang final All England Imelda Wiguna/Theresia Widiastuti melawan Etsuko Takenaka/Machiko Aizawa. Pasangan Jepang itu hanya tampil dengan form terbaiknya di set pertama.Di set kedua, mereka tampil buruk, entah karena kelelahan atau merasa pertandingan tidak lagi menentukan. Imelda/Tuti menang 17-14,15-0. (Indonesia-Jepang 5-2).

Indonesia benar-benar berada dipuncak dunia bulutangkis.

Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Piala Thomas dan Piala Uber berhasil disandingkan di satu negara. Indonesia! (China baru berhasil menyandingkannya 1986, justru di Istora Senayan!)
Bergabungnya China

Setelah ini, Indonesia masih 2 kali bertemu Jepang di final Piala Uber. Tahun 1978 Jepang menundukkan Indonesia 5-2 di Auckland NZ dan1981 sekali lagi Indonesia takluk 6-1 di Tokyo. Total 5 kali pertemuan Indonesia-Jepang di final Piala Uber sejak 1969 sampai 1981 hanya sekali dimenangi Indonesia.

Bergabungnya China dalam IBF (sekarang BWF) merubah peta kekuatan di Piala Uber. Jepang tidak mampu me-regenerasi pemainnya, segera tenggelam oleh China dan Korea. Sejak 1984 Jepang bahkan tidak lagi mampu menembus final.

Indonesia bernasib lebih baik. Di era kejayaan Susi Susanti dan Mia Audina, Indonesia mampu merebut kembali Piala Uber dan menjungkalkan China 2 kali. Di Jakarta 1994 dengan skor tipis 3-2 dan di Hongkong 1996 dengan skor lebih telak 4-1.
Dimanakah mereka sekarang?

Sebagai penutup, saya ingin sekadar me-review keberadaan pahlawan bulutangkis putri kita itu, sekarang ini. Sudah pantaskah apa yang kita berikan sebagai ganti perjuangan habis2an mereka di lapangan untuk membela bangsa? Tidak semua nama pemain bisa ditelusuri, jadi tidak semua bisa disebutkan di sini.

Minarni Sudaryanto yang paling senior, kelahiran Pasuruan, Mei 1944, seusai mengundurkan diri sebagai pemain masih berkecimpung di dunia bulutangkis sebagai pelatih. Tutup usia pada 2003 di RSPP Jakarta karena komplikasi paru-paru dan lever.

Imelda Wiguna yang lahir di Slawi Oktober1951, menikah dengan pengusaha Ferry H. Kurniawan. Usai mengundurkan diri 1986 sempat bekerja di sebuah Bank Swasta, kemudian beberapa saat aktif di Pelatnas sebagai pelatih dan komentator televisi. Terakhir tercatat sebagai Penginjil dan pemilik klub bulutangkis di Bandung. Pengabdian yang berkelanjutan untuk generasi muda.

Utami Dewi, kelahiran Surabaya 1951, tunggal Utama Indonesia saat itu (adik Rudy Hartono yang juara All England 8 kali itu), di tahun1978 menikah dengan pebulutangkis Amerika Serikat, juara US Open 6 kali, John Christopher Kinard dan hijrah ke AS. Sebagai Utami Dewi-Kinard, pernah menjuarai US Open 1981 dan memperkuat tim Piala Uber AS di tahun yang sama.

Tati Sumirah, srikandi penyumbang satu-satunya angka tunggal di final 1975 itu, usai gantung raket 1981, hidupnya berubah drastis. Gemerlap lampu sorot pelan-pelan meredup baginya. Tidak ada lagi yang mengelu-elukan kehadirannya. Selama 24 tahun setelah itu dia bekerja sebagai kasir di sebuah apotik di Jakarta. Sang mantan ‘ratu bulutangkis’ itu berangkat dan pulang bekerja menggunakan angkutan umum. Sejak 2006 Tati ditarik oleh Rudy Hartono untuk bekerja di perusahaannya sebagai karyawan bagian Umum. Hidup melajang dan masih tinggal bersama orang tuanya. Walau hidup serba kekurangan di usia tua,Tati tidak menyesal menjadi atlet ”Semoga mantan atlet nasional tidak dilupakan pemerintah begitu saja. Saya senang sekali kalau diberi rumah tempat saya bisa tinggal”ujarnya sumbang.
Penggemar bulutangkis mnurut survey ada 3, yaitu :
#OrtodoxFans #ModernFans #CampuranFans

-OrtodoxFans adalah penggemar yang menggemari pada pola, teknik dan cara bertanding tanpa peduli siapa atletnya. Penggemar dalam bentuk #OrtodoxFans biasanya adalah orang2 yang hobi bermain bulutangkis, ya itung2 jadi bahan pelajaran buat permainan mreka.
Jadi siapapun atletnya bisa jadi inspirasi dia bila bermain baik profesional maupun amatir. #OrtodoxFans

Beralih ke #ModernFans. Penggemar dalam bentuk ini adalah penggemar yang tidak cukup hanya menonton tapi punya keinginan yang lebih.
Maksudnya keinginan yang lebih itu adalah ingin kenal dengan atlet, ingin tau kesehariannya, ingin ngobrol, foto bareng atau sebagainya. #ModernFans Dan biasanya penggemar dari golongan ini pnya 1 atlet sebagai inspirasi atau role model mereka. #ModernFans Tidak ada yang salah dengan keduanya, yang salah adalah bila kita berada di #ModernFans tapi tidak pintar membawa ke arah mana, karena dibandingkan #OrtodoxFans, #ModernFans lebih besar peluangnya untuk menyimpang atau fraud. ada 3 golongan yaitu sok akrab, lebay dan narsis. Ini menurut kami adalah penyimpangan dari "ModernFans" Penyimpangan2 ini akan berakibat fanatisme berlebihan yang akibatnya akan buruk bagi semua. Bagi dirinya, penggemar2 bulutangkis yang laen dan atlet tentunya. Ini tak perlu terjadi kalau kita bisa jaga ego dan emosi Jadi buat semua penggemar bulutangkis khususnya sobat Badminton Wonder Fans yang merasa #ModernFans, keep touch normal aja yach.

Yang Ke3 adalah #CampuranFans yaitu perpaduan antara OrtodoxFans dan ModernFans
Piala Thomas 1982, Bangkitnya sang Naga!

(Kisah sedih tentang robohnya supremasi bulutangkis Indonesia)


Membandingkan dengan kekalahan Indonesia di ajang Piala Thomas 1967 sungguh tidak relevan, karena tahun 1967 Indonesia tidak pernah benar-benar kalah. Terbangnya Piala Thomas 1967 ke Malaysia adalah keputusan politis bukan karena kalah di lapangan.

Kekalahan di final Piala Thomas 1982 ini adalah kekalahan murni di di lapangan. Meskipun kalah karena tidak beruntung. Kalah ya tetap kalah, gak pakai andai begini, andai begitu.

Tapi memang menyakitkan,meskipun hanya untuk menceritakannya kembali!
Bulutangkis Indonesia 1982

Di arena kejuaraan beregu putra Piala Thomas, Indonesia benar-benar menikmati kejayaannya sejak 1973. Bermaterikan Rudy Hartono, Liem Swie King, Iie Sumirat di tunggal dan pasangan Tjuntjun/Johan Wahyudi serta Ade Chandra/Christian di ganda, tidak ada lawan yang mampu mencuri 1 angka pun dari tim Indonesia.

Tahun 1976 Indonesia menewaskan Malaysia 9-0. Dari 9 partai hanya pasangan Dominic Soong/Cheah Hong Chong yang mampu memaksa rubberset Tjuntjun/Johan Wahyudi.

Tahun 1979 Indonesia menggilas Denmark juga dengan 9-0. Dan hanya Iie Sumirat yang terpaksa bermain rubberset, masing-masing melawan Svend Pri dan bintang muda Denmark, Morten Frost.

Kalaupun China sudah “muncul” saat itu, hampir pasti Indonesia mampu mendapat 4 angka dari ganda. Skor yang paling buruk adalah 5-4 atau maksimal 7-2 untuk Indonesia.

(hal ini sudah teruji di Asian Games 1978, Indonesia menyabet emas beregu putra dengan mengalahkan China 3-2).

Karena itulah Indonesia terlena, merasa bahwa para pahlawan ini tidak punya batas dan lupa melakukan pembinaan.

Tahun 1982 adalah tahun suram buat ganda Indonesia. 2 pasangan ganda legendaris Indonesia, yang hampir selalu memastikan perolehan angka di kejuaraan beregu di manapun, secara sekaligus bubar berantakan. Ade Chandra memutuskan untuk menggantungkan raket. Tjuntjun/Johan Wahyudi bersama menyatakan mundur dari bulutangkis, karena masalah pribadi yang muncul usai kekalahannya di final All England 1981, oleh pasangan senegaranya yang lebih muda, Kartono Hariatmanto/Rudy Heryanto. Pasangan baru ini yang digadang-gadang mampu meneruskan prestasi pendahulunya, ternyata tidak stabil. Di semi final All England 1982, mereka menyerah oleh 2 saudara bintang muda asal Malaysia Razif/Jalani Sidek.

Era kejayaan ganda Indonesia yang selalu menjanjikan 4 angka kemenangan di ajang Piala Thomas sejak 1973, seketika menjadi pertanyaan besar.

Di sektor tunggal, masalahnya tidak jauh berbeda. Rudy Hartono di usianya menjelang 33 tahun, kemampuan teknisnya sudah jauh menurun. Di All England, ajang yang membesarkan namanya, terakhir diikutinya 1981 sebagai semifinalis, sebelum dihentikan oleh Prakash Padukone. Hanya kemauan keras dan niatnya untuk membela Merah Putih, dia bersedia memperkuat tim Piala Thomas Indonesia 1982.

King memang masih berkibar, tapi dia tidak mampu “meninggalkan” pesaingnya secara mutlak, seperti Rudy di masa jayanya. Permainannya yang bertipe serang murni, “speed and power game“, mulai kelihatan banyak menguras tenaganya di usianya yang sudah 26 tahun ini.

Masalah sebenarnya ada di tunggal ketiga setelah Iie Sumirat mengundurkan diri tahun 1979. Meskipun banyak nama yang beredar, Lius Pongoh, Dhany Sartika dan Hadiyanto, tapi tidak ada satupun yang kemampuannya sudah berada di tingkat elit dunia.
Bulutangkis Dunia (di luar China) 1982.

Di piramida paling atas sektor tunggal putra dunia paling tidak ada 2 pesaing King paling serius, Morten Frost Hansen 24 tahun, Denmark dan Prakash Padukone, yang masa remajanya pernah berlatih di Indonesia, 27 tahun asal India. Selapis di bawahnya, ada nama-nama Flemming Delfs (Denmark, 31tahun), Steve Baddeley (Inggris, 29 tahun) dan pemain muda eksentrik asal Malaysia, Misbun Sidek, 22 tahun.

Di sektor ganda, sepeninggal 2 legenda Christian/Ade dan Tjuntjun/Johan, penghuni puncak dan sekaligus pesaing Kartono/Heryanto tidaklah banyak. Ada nama Thomas Kihlstroem/Stefan Karlsson asal Swedia, yang juara Eropa sejak 1980 (ketika itu Kihlstroem sudah 42 tahun!), lalu Razif/Jalani Sidek, Malaysia yang meskipun jadi juara All England 1982, tapi masih belum stabil, dan pasangan asal Skotlandia Billy Gilliland/Dan Travers, serta pasangan Inggris Mike Tredgett/Martin Dew.

Tapi kejuaraan beregu berbeda dengan perorangan. Dilihat dari daftar pemain yang dimiliki, kalau hanya ini yang dihadapi, Indonesia masih akan mampu mempertahankan Piala Thomas. Meskipun tidak usah lagi bicara angka mutlak 9-0, tapi menang dengan 7-2 atau 6-3, sama saja bukan?

Tapi selain kekuatan tradisional di ajang Piala Thomas ini, sekarang ada China!
China 1982

Setelah berjuang lewat lobi-lobi politis yang sangat panjang sejak 1973, akhirnya China diterima menjadi anggauta resmi badan bulutangkis dunia IBF, 1981. 3 jagoan imigran asal Indonesia, yang mengaduk dunia sejak 1974. Hou Chia Chang, Tang Hsien Hu dan Fang Kai Hsiang sudah semakin mundur prestasinya. Menyadari hal itu mereka mulai giat melakukan pembinaan. Hasilnya tahun 1979 diajang kejuaraan WBF (badan dunia bulutangkis tandingan IBF) Han Tsien (yang kemudian dieja menjadi Han Jian) menjadi juara mengalahkan Luan Chin (kemudian jadi Luan Jin atau Luan Jing) dalam All China final.

All England 1982 adalah ajang pertama pembuktian mereka di ajang bulutangkis dunia. 5 pemain tunggal putra China berhasil menembus perempat final All England pada kesempatan pertama berpartisipasi. Han Jian, Luan Jin, Chen Changjie, He Sangquan dan Chen Tianlong. Tapi kemudian Han Jian rontok oleh Morten Frost, Chen Changjie kalah oleh King, Chen Tianlong dihabisi Prakash. Hanya Luan Jin yang tembus ke semi final dan maju ke final setelah mengkandaskan Prakash.Langkah Luan Jin berhenti di final setelah ditundukkan Morten Frost 15-11, 2-15, 7-15.Tapi, prestasi di tunggal ternyata tidak diikuti oleh prestasi di ganda. Tidak ada satupun ganda putra China mampu menembus semi final.

(yang benar-benar spektakuler adalah prestasi putri mereka, hanya Lene Koppen (Denmark) yang mampu menembus keperkasaan putri-putri China di perempat final. Zhang Ailing akhirnya menjadi juara setelah mengalahkan rekan senegaranya Li Lingwei 11-4, 11-6).

Jadi, memang hanya China yang menjadi lawan paling potensial buat Indonesia. Dan memang Indonesia yang menjadi tujuan akhir China. Justru ketika sektor ganda Indonesia sedang tidak menentu dan tunggal putra yang hanya bertumpu pada King seorang.
Putaran Final Piala Thomas 1982.

Indonesia yang juara bertahan hanya menunggu di semifinal melawan Inggris (yang bersusah payah menang atas Malaysia 5-4). Seperti diramal, Indonesia menang 8-1. Satu-satunya kekalahan yang membuat risau adalah dari Kartono/Heryanto yang ditundukkan Mike Tredgett/Martin Dew 10-15, 1-15.

China, meskipun memulai pertandingan dari babak kualifikasi zona Asia, mendapat bye di babak perempat final dan langsung ke semifinal melawan Denmark. China lolos ke final menghantam Denmark, juga dengan 8-1.

Akhirnya pertemuan yang ditunggu-tunggu dunia, sejak kemunculan China 1974 terjadi juga. Indonesia sebagai pemegang supremasi yang sedang menurun dan China sebagai penantang, justru sedang menanjak!

Pertandingan final diselenggarakan di London, 20 dan 21 Mei 1982.
Analisa strategi sebelum pertandingan

Melihat prestasi ganda China di All England, 2 bulan sebelum pertandingan ini, yang hanya pada level “biasa-biasa saja“, Indonesia masih optimis mampu memperoleh 4 angka dari sektor ganda. Apalagi, hadirnya pasangan gado-gado yang terbukti sangat tangguh Christian/King! (salah satu ganda terbaik dunia sepanjang masa selain Park Joo Bong/Kim Moon Soo dan Chandra Wijaya/Tonny Gunawan). Hanya 1 angka lagi yang diperlukan dari tunggal dan Piala Thomas tetap di Indonesia! Untuk tujuan itu, dengan cerdas, Rudy dipasang sebagai tunggal ketiga dengan perhitungan tidak ada tunggal ketiga China yang mampu mengalahkan Rudy!.

Tapi China juga tak kurang strategi. Luan Jin yang seharusnya jadi tunggal pertama, dipasang di tunggal ketiga untuk menghadapi Rudy!
Malam Pertama.

King mengawali pertandingan dan menunaikan tugasnya dengan baik. Meskipun Chen Changjie melawan dengan gigih, terutama di set ke 2, King menang 15-8,15-13 (1-0 Indonesia). Lius Pongoh di tunggal kedua tidak mampu meladeni kecepatan Han Jian 5-15, 7-15. (Indonesia 1, China 1).Ganda utama Indonesia Kartono/Heryanto juga menunaikan tugasnya dengan baik, menundukkan Luan Jin/Lin Jiangli 15-8,13-15,15-9. (2-1, Indonesia).Christian/King, meskipun dipaksa bermain marathon set oleh ganda utama China Sun Zhian/Yao Ximing namun menang juga 15-10,12-15,15-8.

Malam Pertama Indonesia unggul 3-1. Dan yang paling melegakan, 1 angka tunggal berhasil diambil oleh King!
Malam Kedua.

Rudy ternyata tidak mampu menembus sang “Tembok China” Luan Jin 9-15,15-1, 9-15. Pertandingan kedua, King vs Han Jian menjadi sajian terdahsyat malam itu. Meskipun kalah, King berjuang habis-habisan. Pertandingan berjalan seru dan mendebarkan, Angka bergeser sangat ketat 12-15,15-11,14-17. Di partai ketiga Lius Pongoh si “bola karet” juga jatuh bangun memberikan perlawanan ngotot, meskipun kalah tipis atas Chen Changjie 17-18, 12-15.

3 angka tunggal di malam ke 2, diambil semua oleh China yang berhasil membalikkan keadaan. Dari unggul 3-1, Indonesia jadi tertinggal 3-4.

Semua beban, kini terletak dipundak pasangan Kartono/Heryanto sebagai pasangan nomor 1 dunia (meskipun belum ada peringkat) melawan pasangan China Sun Zhian/Yao Ximing, yang secara teknis selapis di bawahnya. Tapi ternyata pasangan Indonesia ini tidak siap untuk memikul beban mental seberat itu. Kelihatan sekali, terutama di set ketiga mereka bermain buruk, di bawah form terbaiknya, bermain serba salah dan tidak mampu keluar dari tekanan pasangan China yang bermain kesetanan.

Kartono/Heryanto yang diperhitungkan menang, nyatanya menyerah 14-17, 15-3, 1-15.

Dan……..Piala Thomas terbang ke China 3-5!

Di partai penutup, Christian Hadinata memberikan ‘hadiah hiburan’ sekaligus menambah panjang rekornya yang tak terkalahkan di ajang Piala Thomas. Ganda dahsyat Christian/King ini menghancurkan Luan Jin/Lin Jianli straight set 15-4, 15-11.

Skor akhir Indonesia vs China 4-5.

Epilog

China sukses melakukan “Vini, Vidi, Vici” dan memperpanjang ‘kutukan’ Piala Thomas. “Juara Baru selalu hadir pada kesempatan pertama” (Malaya merebut piala ini 1949 pada kesempatan pertama berpartisipasi. Demikian juga Indonesia 1958).

Berakhir sudah era Indonesia yang tak terkalahkan sejak 1958 (maaf, hilangnya Piala Thomas tahun 1967 buat saya, bukan karena kalah).

Pasangan Kartono/Heryanto menjadi bulan-bulanan pers, dan disebut sebagai “juara yang tak mampu memikul tanggung jawab”. Meskipun mereka juga menang sekali. Lius Pongoh yang 2 kali kalah juga tidak luput dari cercaan publik, meskipun dia sudah berjuang habis-habisan. Ajaibnya Rudy dan King baik-baik saja, meskipun juga kalah. Rudy Hartono mengakhiri sejarahnya di bulutangkis dunia yang ditulis dengan tinta emas, dengan kekalahan.

Meskipun kalah menyakitkan, cinta saya kepada bulutangkis Indonesia tidak berkurang.

Hidup Indonesia!
Pengen Nangis Rasanya..

Piala Thomas 1984, Adu Strategi Seru!

Piala Uber 1984.

Tim Putri China yang sudah mendominasi dunia sejak 1982, di arena ini merupakan pendatang baru, yang diperhitungkan sebagai calon paling kuat untuk merebut supremasi dan membawa pulang Piala Uber ke negaranya, untuk kali pertama.

Jepang yang mendominasi Piala Uber sejak 1966 samasekali tidak berkutik, bahkan gagal maju ke semi final. Demikian juga Indonesia yang langganan finalis, Ivanna Lie dan kawan-kawan menyerah oleh China 0-5, Jepang 2-3 dan Denmark 2-3.

Seperti diramalkan China memboyong piala itu dengan menyapu semua lawannya dengan angka mutlak 5-0, termasuk Inggris di final.

Piala Thomas 1984.

Masih belum ada lawan berarti yang diperhitungkan mampu menandingi kedigdayaan tim putra China dan Indonesia. Sebagai juara bertahan, China memang lebih diunggulkan untuk mempertahankan Piala Thomas. Keunggulan ini diperhitungkan berkat prestasi tunggal mereka yang lebih mengkilap dalam 2 tahun terakhir ini. Namun, keunggulan mereka tidaklah mutlak, karena ganda mereka masih kalah selapis dibanding Indonesia. Tapi tidak ada yang tidak sepakat bahwa China dan Indonesia akan mengulangi pertemuan mereka di final seperti 1982. Siapa yang menang, akan benar-benar tergantung pada strategi masing-masing tim untuk “mensiasati” peraturan baru ini.

Tim Thomas China 1984

Selain masih eksisnya jago-jago tunggal putra tim Thomas1982, Han Jian 28 tahun, Luan Jin 26, dan Chen Changjie 25, tim putra China juga diperkuat bintang-bintang baru yang prestasinya sedang menanjak Yang Yang 21 dan Zhao Jianhua 19. Sedang yang didaftarkan sebagai pemain ganda adalah Sun Zhian 28 Yao Ximing 28, He Sangquan 29, Lin Jiangli 30 serta pemain muda Jiang Guoliang 22, Li Yongbo 22 . Tian Bingyi 21.

Berdasarkan peringkat, susunan pemain tunggal China adalah Zhao Jianhua ditunggal pertama, kemudian berturut-turut Han Jian, Yang Yang, Luan Jin dan Chen Changjie. Di ganda, meskipun banyak kemungkinan yang terjadi, tapi alternatifnya tidak banyak. Sun/Yao pertama, kemudian He/Lin atau He/Jiang dan ganda baru yang sedang menanjak Li Yongbo/Tian Bingyi

Tim Thomas Indonesia 1984

Tumpuan harapan Indonesia terletak di pundak Liem Swie King 28 tahun dan bintang baru juara dunia 1983, Icuk Sugiarto 21, yang didukung Hastomo Arbi 26, Eddy Kurniawan 21 dan Hadiyanto 28 .

Beberapa saat sebelumnya, Icuk sempat membuat berita dengan menolak untuk dilatih oleh Tan Yoe Hok bersama rekan yang lain. Tan yang berjiwa besar, bahkan bersedia mundur sebagai pelatih, tapi kemudian Icuk diperkenankan berlatih sendiri bersama Tahir Jide yang kemudian diangkat sebagai pelatih fisik.

Hastomo Arbi, adalah sulung dari 3 Arbi bersaudara, bintang bulutangkis Indonesia (Hastomo, Eddy Hartono dan Hariyanto). Namanya sudah sempat mendunia sejak 1979, tapi karena terkena skorsing setahun akibat kasus doping di All England 1981, dia tidak memperkuat Indonesia di Piala Thomas 1982.

Menyadari bahwa secara kwalitas tunggal Indonesia yang mampu menandingi tunggal China hanyalah King dan Icuk, Indonesia berusaha keras untuk menyimpan 2 pemain ini, agar peringkat dunianya turun. Di hari H, susunan pemain Indonesia sesuai peringkat adalah Hastomo, Icuk, King, Eddy Kurniawan dan Hadiyanto.

Sedangkan yang didaftar untuk sektor ganda adalah Icuk, King, Christian Hadinata 34 tahun, Hadibowo Susanto 25, Bobby Ertanto 26, Kartono Hariatmanto 29, Rudy Heryanto 29 serta Sigit Pamungkas 25.

Indonesia memang beruntung punya pemain dengan talenta seperti Christian. Sebagai pemain paling senior, dia bisa dipasangkan dengan siapa saja yang tertera dalam daftar dan punya prestasi bagus. Hal ini yang membuat pusing calon lawan Indonesia karena kemungkinan susunan ganda Indonesia bisa amat bervariasi. Meskipun demikian peringkat ganda tertinggi adalah Christian/King, disusul Kartono/Heryanto, Christian/Hadibowo, Hadibowo/Bobby Ertanto, Christian/Icuk dan Christian/Bobby

Perang Strategi yang seru.

Meskipun tidak mudah, (Indonesia dipaksa habis2an oleh Inggris 3-2, dan China lolos dari hadangan Denmark juga dengan 3-2), tapi seperti yang diperhitungkan, China akhirnya berjumpa Indonesia dalam partai ulangan final 1982.

Meninjau susunan tunggal China sesuai peringkat pemain (dan memang dipakai China selama penyisihan), formasi ini menguntungkan Indonesia. Hanya Hastomo yang diperhitungkan kalah kecepatan oleh Zhao Jianhua. Icuk seimbang dengan Han Jian (skor 3-3). King ditunggal ke 3 diperhitungkan akan mampu mengatasi Yang Yang (terakhir Yang Yang kalah oleh King di Indonesia Open 1983).

China yang underdog di ganda, amat memperhitungkan akan turunnya ganda maut Christian/King (meskipun tidak pernah diturunkan di babak penyisihan). Tidak ada ganda China manapun yang mampu menahan ganda Indonesia ini. Karena itu China dengan sengaja melepas partai ini, membiarkan pasangan keduanya He Sangquan/Jiang GuoLiang untuk menghadapinya. Merombak pasangan utamanya Sun Zhian/Yao Ximing dengan Sun Zhian/Tian Bingyi yang diperhitungkan akan mampu mengatasi Kartono/Heryanto di ganda kedua sekaligus partai terakhir.

Tapi susunan pemain yang diajukan pagi harinya oleh kedua tim, membuat semua orang terkejut, tidak terkecuali kedua kubu.

China tenyata tidak memainkan Zhao Jianhua! Pemain muda kidal yang dahsyat dan belum terkalahkan sejak kemunculannya 6 bulan terakhir, tidak diturunkan!

Susunan pemain tunggal kedua tim adalah Hastomo vs Han Jian, Icuk vs Yang Yang dan King vs Luan Jin. Formasi ini justru tidak menguntungkan Indonesia. Hastomo sudah 3 kali bertemu Han Jian tanpa pernah menang, Demikian juga Icuk yang 3 kali kalah telak oleh Yang Yang. Hanya kans King vs Luan Jin yang seimbang (skor 4-3 untuk King).

Di partai ganda, ternyata sampai detik terakhir pasangan maut Christian/King tidak pernah diturunkan! Christian tetap dipasangkan dengan Hadibowo, pasangannya selama penyisihan. Dan Kartono/Heryanto dirombak dengan King /Kartono!. Pasangan yang belum pernah bermain di dunia internasional ini, tidak punya peringkat dan menjadi ganda kedua.

Stadium Negara Kuala Lumpur, Jumat malam 18 Mei 1984.

Supporter Indonesia sejak siang sudah memadati arena pertandingan. Berasal dari segala penjuru dan strata sosial. Tidak ada bedanya pekerja kasar konstruksi, pekerja perkebunan, mahasiswa, dosen, karyawan kantoran, pejabat, pengusaha, wisatawan. Semuanya satu visi mendukung Indonesia!. Rasanya malam itu WN Indonesia yang tetap jaim adalah yang harus duduk di kursi kehormatan, Menpora Abdul Gafur karena didampingi pejabat Malaysia. Mantan Wapres dan Ketua KONI, Sri Sultan HBIX bahkan memilih duduk bersama offisial tim Indonesia. Yang lain? Kalah jumlah gak masalah, yang penting gak kalah aksi dan kencangnya teriakan.

Betul, supporter tim China yang asli memang tidak sebanyak dan segarang supporter Indonesia. Yang bikin masalah adalah supporter yang jelas-jelas membawa bendera strip biru putih, tapi berlaku sebagai supporter China. Perang supporter yang sebenarnya terjadi adalah dengan supporter Malaysia! Ungkapan “saudara serumpun” rupanya tidak berlaku di arena olahraga. Yang terjadi adalah “saingan serumpun”!.

Pertandingan itu.

King yang harus bermain rangkap diijinkan untuk bermain lebih dulu. Membuka pertandingan melawan Luan Jin yang tidak berkutik oleh ‘King’s Smash’ di set pertama. King unggul 15-7. Di set kedua, King bermain terlalu terburu-buru dalam usaha untuk menang straight set. Namun Luan Jin yang sudah mulai panas, gigih bertahan.

Kemudian insiden itu terjadi.

Dalam kedudukan 9-7, King dianggap memukul bola Luan Jin sebelum melewati net. Setelah itu konsentrasi King bubar berantakan, smashnya banyak keluar atau nyangkut. Luan Jin mampu memaksa rubber set 11-15. Set ketiga adalah titik balik. Luan Jin terus menerus unggul dan mengakhiri partai itu untuk kemenangan China 10-15 (China unggul 1-0).

Awan kecemasan melanda kubu Indonesia. King yang diharap menyumbang angka di tunggal ternyata kalah. Akankah tunggal Indonesia kalah semua?

Hastomo Arbi yang ‘underdog‘ ternyata tidak ada takutnya. Pemain asal Kudus yang mungil (162 cm) dan tampan ini seperti kesetanan meladeni Han Jian. Kekalahannya sebelumnya seperti tidak berpengaruh. Kombinasi lob serang dan dropshot tajam membuatnya unggul cepat 9-3, sebelum disamakan 10-10. Han Jian sempat meraih ‘match point‘ 14-12 sebelum Hastomo memaksakan deuce 14-14. Namun set itu ditutup untuk kemenangan Han Jian 17-14. Set kedua Hastomo makin meningkatkan tempo. Footworknya sempurna dan kombinasi lob serang dan dropshotnya semakin tajam dan cepat, membuat Han Jian pontang panting tidak berkembang. Hastomo sepenuhnya mengontrol permainan. 9-2, 13-2, 13-6 dan 15-6 dalam 15 menit saja.

Set ketiga Han Jian mencoba meladeni permainan cepat Hastomo dan sempat unggul 0-1, 1-2. Tapi tanpa pindah servis, Hastomo melaju 8-2. Setelah pindah tempat Han Jian mendapatkan ‘second wind‘ dan angka mulai bergeser alot. Pada kedudukan 11-7 untuk Hastomo, tiba-tiba pelatih Tan Yoe Hok berlari menemui Wasit Kehormatan Arthur Jones, memprotes keputusan wasit. Diiringi kilatan puluhan lampu blitz wartawan dan sorakan saling ejek antar supporter, pertandingan terhenti. Meskipun protes ditolak, dan pertandingan dilanjutkan kembali, mood Han Jian menjadi rusak. Hastomo menutup set ketiga ini untuk kemenangannya 15-8. (China 1, Indonesia 1).

Angin segar bertiup kembali, Indonesia membuka peluang. Halo-halo Bandung dan Garuda Pancasila berkumandang tanpa ada yang suruh, tanpa ada yang pimpin.

Icuk Sugiarto ternyata bermain di bawah form terbaiknya. Tidak mampu keluar dari tekanan mental akibat kekalahan sebelumnya, permainannya segera menjadi bulan-bulanan. Tidak saja oleh Yang Yang, tapi juga oleh supporter lawan. Supporter Indonesiapun yang kecewa karena melihat Icuk yang bermain tanpa semangat, akhirnya ikut-ikutan mengejeknya. Permainannya makin kacau dan Icuk kalah menyakitkan 9-15, 10-15. (Indonesia 1, China 2)

Christian yang tampil berikutnya bersama Hadibowo bermain tenang seolah tanpa beban harus menyamakan kedudukan. Sudah diduga, perlawanan He Sangquan/Jiang Guoliang berlangsung gigih. Mereka tahu kalau Hadibowo berada di depan net, ganda kita ini akan “mati angin”. Karena itu mereka berusaha mendorong Christian ke belakang sambil menarik Hadibowo ke depan. Tapi mereka kalah pengalaman. Angka ketat berkejaran 3-3, 4-4, 7-7, 10-10, 13-13. Dan Christian/Hadibowo menyudahi set pertama ini 18-14.

Set kedua ganda China meningkatkan kecepatannya dan ganti menekan. Mereka unggul 0-3, 1-4, 2-7,dan Christian melambatkan tempo 5-7, 7-7 Ganda China tancap gas lagi 7-9. Tapi hanya sampai disitu perlawanan mereka. Dengan sekali servis, ganda kita melaju 12-9.

Saat itu smash He dihindari Christian dan keluar.Wasit sudah menyatakan angka untuk pasangan kita, 13-9. Tapi Christian mendatangi wasit, menyatakan bahwa sebelum jatuh di luar lapangan, bola itu sudah menyentuh bahunya lebih dulu. Wasit meralat keputusannya, dan bola berpindah untuk keuntungan He/Jiang 9-12. Sungguh sulit mencari pemain yang bertindak sportif di angka kritis seperti itu. Tapi kemudian He/Jiang justru yang “grogi” dan menyerah 15-10 (Indonesia 2, China 2)

Saat itu sudah hampir tengah malam. Ketegangan merayap sampai ke puncak, menekan setiap orang. Tidak ada lagi penonton yang tahan untuk tetap duduk di kursinya. Offisial, pemain cadangan dan pemain putri Indonesia berdiri rapat bergandeng tangan. Lagu Indonesia Raya yang dinyanyikan penonton mengiringi King/Kartono masuk lapangan.

Meskipun dua orang ini biasanya lebih suka bermain dibelakang sebagai ‘tukang gebuk’, tapi Kartono malam itu bermain taktis dalam menempatkan bola di depan jaring. Pengembalian lawan yang melambung menjadi sasaran smash King yang sangat tajam. Pasangan baru ini kelihatan belum padu dan sering dalam posisi sejajar mengadu raket bila bola diarahkan diantara mereka, tapi lawannya juga sama tidak padunya.

Meskipun pertandingannya sangat menegangkan dan angka ketat berkejaran, King/Kartono memang lebih unggul selapis, dan terus menerus unggul. Diiringi gegap gempita supporter Indonesia, King/Kartono akhirnya menang juga straight set 18-14, 15-12.

Supporter Indonesia yang paling-paling berjumlah 3.000an orang dari total 10.000 penonton seketika meledak dalam euforia. Ratusan orang turun dari tribun, berlarian masuk lapangan untuk bermain kejar-kejaran dengan petugas. King terisak dibahu Tan Yoe Hok, Sri Sultan HBIX menghampiri Kartono dan memeluknya, Ivanna Lie bersama Yanti Kusmiati sambil membawa Sang Merah Putih kelihatan berlari melakukan “victory lap” yang gagal diselesaikan karena dihentikan oleh petugas. Malam itu Stadium Negara Kuala Lumpur berubah menjadi Istora Senayan. Penonton tidak mau bubar juga walau upacara penyerahan Piala Thomas telah selesai dan waktu sudah menunjukkan jam 02.30 dini hari. Sebuah peristiwa heroik yang sulit saya lupakan, sampai sekarang!
Nostalgia Uber Cup 1996


Menjadi tim yang tidak dijagokan menjuarai sebuah turnamen adalah keuntungan tersendiri untuk bermain lepas tanpa beban. Itu harusnya menjadi motivasi tersendiri untuk tim Piala Uber Indonesia kali ini. Maria Kristin dkk perlu semangat juang tinggi untuk membuktikan bahwa mereka bukanlah tim lemah. Kondisi Tim Uber sekarang jauh lebih baik jika dibandingkan kondisi tim putri tahun 2004 & 2006.

Dalam pertandingan beregu, bertabur pemain bintang bukanlah jaminan untuk menjadi yang terbaik. Kebersamaan tim harus menjadi bagian yang utama. Aura kejuaraan beregu sangat berbeda jauh dengan kejuaraan perseorangan. Dalam kejuaraan beregu, hasil partai sebelumnya berpengaruh terhadap pertandingan selanjutnya. Maka mental pemain akan menjadi hal yang paling penting.

Nostalgia Piala Uber 1996 adalah contoh nyata. Tim Indonesia yang dimotori Susi Susanti mampu keluar menjadi jawara walau banyak media baik dalam negeri maupun luar negeri lebih menjagokan China. Memang prediksi tersebut tidaklah salah sebab tim China waktu itu bermaterikan pemain kelas wahid. Ye Zhaoying nangkring dinomor satu dunia sekaligus sebagai juara dunia 95 dan All England 96. Ye masih ditopang oleh Wang Chen (7), Zhang Ning (9), dan Han Jigna (4). Sementara sektor ganda, nama Ge Fei/Gu Jun sebagai peringkat teratas yang merajai nomor ganda putri menambah kuatnya tembok China. Nomor ganda masih ditambah Qin Yiyuan/Tang Yongsu yang berperingkat 3 dunia.

Sementara materi tim Indonesia kalah jauh bila berkaca dari peringkat dan hasil turnamen sebelumnya. Susi sang lokomotif tim, sudah mulai turun prestasinya. Kecepatan dan reli-relinya mulai mampu di antisipasi oleh lakar putri China. Susi saat itu berada diperingkat ke 3. Gelar juara dunia dan All England bukan lagi miliknya. Peran Susi disektor tunggal dibantu Mia Audina (11), Yuliani Sentosa (13), Meluawati (29) dan Lydia Djaelawijaya. Sektor ganda diperkuat oleh Elyza Nathanael/Zelin Resiana(8), Lili Tampi/Finarsih (12) dan Deyana Lomban sebagai pemain cadangan.

Namun semangat juang dan kebersamaan tim menjadi modal yang bisa mengalahkan predikat peringkat dunia. Pamor Susi pun masih menjadi point plus kubu Indonesia. Keberadaan Susi mampu meningkatkan moril tim yang kembali di kawal oleh Lutfi Hamid sebagai pimpro. Mental baja pemain Indonesia mampu membalikan ramalan banyak pihak.

Tahun itu Indonesia ada di grup A bersama China dan Jepang. Kala itu sebagai juara bertahan Indonesia masih diberi predikat seeded pertama. Sementara China ada di seeded ke 3/4. Dalam penentuan juara dan runner up, Indonesia sengaja menyimpan Susi. Maka Mia pun naik pangkat. Hasilnya bisa ditebak Mia dkk icukur gundul 5-0 oleh China. Menjadi runner up grup A, Indonesia dipertemukan dengan Korea Selatan sebagai juara Grup B dibabak semifinal. Sementara China bertemu Denmark.

Korea Selatan adalah tim yang dijagokan juara setelah China, sekaligus seeded ke 2. Bang Soo Hyun dkk mempunyai prestasi yang lebih mumpuni dibandingkan prestasi srikandi Indonesia. Namun pertemuan dengan Indonesia diajang Uber kala itu menjadi anti klimak. Korea yang lebih diunggulkan digebuk 4-1. Bahkan Susi menang meyakinkan atas Bang 11-8 11-0, demikian halnya dengan pasangan Elysa/Zelin yang tampil menawan saat mengalahkan ganda Gil Yong Ah/Jang Hye Ock 15-6 15-3. Dan Mia mampu menutup kemenangan setelah mengalahkan Kim Ji Hyun.

Partai semifinal lainnya, China unggul telak atas Denmark 5-0. Akhirnya partai final kembali mempertemulkan kembali Indonesia dan China seperti yang terjadi dua tahun sebelumnya di Jakarta.

Final Uber Cup 1996

Sang lokomotif tim Indonesia, Susi Susanti mampu meniupkan semangat perang. Di partai perdana legenda Indonesia itu berhasil melaksanakan perannya. Mental bajanya menjadi kunci kemenangan nan gemilang. Kekalahan set pertama yang sangat telak 4-11 dibalas dengan perjuangan dan kegigihanya. Set keduakekalahan sudah membayang dengan tertinggal 2-5, namun semua berubah. Angka lima menjadi angka mati bagi Ye. Mental pemainpun akhirnya menjadi kunci. Setelah mampu mencuri set kedua, permainan Susi semakin menggila. Setengah set awal ditutup dengan skor sempurna 6-0.

Perpindahan tempat makin mengukuhkan kedigdayaan Susi, dengan unggul jauh 8-0. Ye sempat bangkit dan mengejar point menjadi 8-5. Ye sebenarnya mampu untuk
terus mengejar. Namun istilah 'the winner splin' tiba-tiba merubah semuanya. Point Ye hampir menjadi enam, ketika ia melancarkan dropshot yang tajam. Susi dengan perjuangan yang ektra tinggi mampu mengembalikan bola dengan splin. Hanya selang dua detik Susi bangkit, bola oleh Ye dismash ke kanan. Susi meraih sembari menjatukan badan dan hanya bertumpu satu lutut. Bola masih kembali. Entah apa yang ada dibenak Ye, dia hanya terpaku melihat arah bola. Dan terkejut ketika bola jelas masuk. Dari kejadian itu mental Ye benar-benar ambruk. Susi akhirnya unggul 11-5 diset akhir.

Semangat juang Susi menjadi panutan untuk partai selanjutnya. Elyza Natahael/Zelin Resiana walau harus takluk dari the duble G, Ge Fei/Gu Jun namun perjuanganya tak kalah hebat. Set pertama tanpa diduga Elyza/Zelin mampu memenangkan dengan cukup meyakinkan 15-7. Set kedua dibalas oleh Ge/Gu dengan skor 15-8. Separuh set akhir ganda utama Indonesia ini sudah unggul 8-5, bahkan setelah pindah tempat Elyza/Zelin telah unggul 12-8. Secara tak diduga Ge/Gu sukses mengejar. Kemenangan didepan mata Elyza/Zelin pun sinar. Set ketiga ditutup dengan 15-12 untuk Ge/Gu.

Partai ketiga, sang hercules Indonesia Mia Audina berebut point dengan Wang Chen. Mia bermain sangat taktis. Semangat juang sang kayak, Susi Susanti menjadi pemacu adrenalinya untuk memperoleh kemenangan. Piala Uber 94 menjadi pengalaman berharga baginya. Mia akhirnya menjadikan point 2-1 untuk Indonesia setelah unggul 11-4 11-6 atas Wang.

Kemenangan Mia membuat Indonesia hanya butuh satu kemenangan lagi untuk meraih sekaligus mempertahankan Piala Uber. Partai ganda kedua menjadi kunci penentu kemenangan Indonesia. Lili Tampi/Finarsih membalas kekalahan meraka dibabak penyisihan atas Qin Yiyuan/Tang Yongsu. Kematangan mental kembali mementahkan kelebihan teknik dan usia. Lili/Finarsih berhasil tampil gemilang. Kemenangan 15-9 15-10 mengantarkan Indonesia kembali merebut lambang supremasi beregu putri. Partai terakhirpun masih menjadi milik Indonesia. Meluawati yang hanya berperingkat 29 dunia tak disangka-sangka menaklukan Zhang Ning yang berperingakt jauh diatasnya yaitu 9 dunia. Skor kemenangan Meluawati sangat meyakinkan 11-6 11-2.

Kemenangan Indonesia menjadi bukti bahwa kebersamaan tim dan semangat juang untuk menang adalah utama. Ramalan media mampu dipatahkan. Semoga tim Uber Indonesia kali ini bisa mencontoh nostalgia Uber cup 96. Manager Uber Cup, Susi bisa jadi kekuatan tersendiri walau bukan menjadi pemain kali ini.
Nasionalisme Dunia Maya Mendukung Bulutangkis Indonesia

sudah bukan hal yang aneh, jika stasiun televisi ataupun media cetak di Indonesia tidak menyiarkan berita dari perhelatan akbar olahraga yang sering mengharumkan dan mengangkat nama Indonesia di berbagai ajang internasional, namun itu bukanlah alasan bagi para Fans badminton untuk berhenti mendukung sepak terjang tim merah putih di setiap turnamen. Ada situs yang menjadi fokus bagi rekan-rekan fans Badminton saat ini, demi mendukung para atlet bulutangkis kebanggaan tanah air berjibaku di setiap turnamen untuk mengibarkan sang merah putih di podium tertinggi, sebagai juara. meskipun stasiun TV nasional tidak ada yang concern, tapi inilah wujud konkrit kami terhadap pergerakan Badminton Indonesia. SATU INDONESIA untuk Kejayaan BULUTANGKIS kita meskipun hanya melalui pantauan skor DUNIA MAYA.. D

Banyak penggila bulutangkis dengan sabar memelototi pergerakan skor ketika pemain indonesia bertarung bahkan ada beberapa page yang updates skore. Ketika upadates skore terjadi, ada yang kasih semangat (walau gk kedengeran sama atlet yang maen.. sangking tergila2ny dengan badminton..hehehe..peace!), ada yang komat-kamit, ada yang sering gak bisa jaga mulut dll. Sampe2 ada s'orang teman yang bilang gini :“kamu gila ya, memelototi pergerakan skor doang?” wkwkkk..

hehehe.. ya begitulah kami, Fans berat tim Bulutangkis Indonesia yang selalu mendukung supaya sang merah putih berkibar dan bangsa Indonesia tetap harum dimata dunia Internasional meskipun saat ini belum ada hasil yang maksimal dari mereka!!

JAYALAH BULUTANGKIS INDONESIA………!!!!!