Senin, 27 Februari 2012

Ketika Lin Dan Bertemu Iie Sumirat


Siapapun yang tahu kondisi bulutangkis dunia sekarang ini pasti sepakat kalau ditanya siapakah tunggal putra paling top sekarang ini. Tidak usah dengan pertanyaan susulan : ”Resmi atau tidak resmi?“.

Ya, jawabannya pasti sama, Lin Dan asal China.

Bahkan menurut Taufik Hidayat, sulit untuk menemukan lawan yang mampu mengimbangi Lin Dan saat ini. Smashnya keras dan sulit ditebak arahnya sehingga sangat sulit diantisipasi, dan tidak seperti pemain type menyerang lain, pertahanan dan reaksinya sangat luar biasa.

Sekarang? Benar! Betapapun kita tidak suka, tapi kita harus jujur bahwa tidak ada satupun pemain dunia yang mampu menundukkannya (sekali lagi, sekarang). Kita harus menunggu lahirnya muka baru dengan bakat yang lebih baik atau, kita biarkan saja sampai sang waktumengalahkannya. Sampai dia mengundurkan diri tanpa terkalahkan, seperti ganda putra Korea Park Joo Bong/Kim Moon Soo atau ganda putri China Ge Fei/Gu Jun.

Tapi kalau dia disebut sebagai pemain terbesar sepanjang sejarah bulutangkis?

Ah, nanti dulu!

Mari, saya ajak anda semua berandai-andai. Andai saja semua para jawara bulutangkis itu hidup dijaman yang sama, dan saling berhadapan di suatu Kejuaraan Dunia yang disponsori oleh pabrikan EGP (Emang Gue Pikirin). Siapa kira-kira yang bisa menandingi keperkasaan Lin Dan?

Karena ini pengandaian saya (yang bukan pemain, bukan pakar dan bukan ahli analisa), sifatnya subyektif, maka saya, dengan segala hormat harus menganulir keikutsertaan Tan Joe Hok, Ferry Sonneville, Erland Kops (Denmark), Wong Peng Soon dan Eddie Choong (asal Malaya) apalagi Sir George Alan Thomas asal Inggris, karena saya tidak menyaksikan puncak kemampuan beliau-beliau tersebut.

Karena tidak punya pemain tunggal putra yang cukup perkasa menjagoi dunia, marilah kita sisihkan saja Jepang, Korea (Selatan) dan Thailand. India memang punya Prakash Padukone serta Gopichand Pullela, tapi rasanya tidak akan mampu meladeni berondongan smash dan chop silang punya Lin Dan.

Denmark punya banyak pemain legendaris, Svend Pri, Flemming Delfs, Morten Frost, Poul Erik, tapi semuanya tidak ada yang benar-benar tanpa tandingan.

Malaysia? Li Chong Wei meskipun dahsyat, tapi seperti juga Taufik, juga kesulitan mengimbangi kecepatan sang “Super Dan“. Misbun dan Rashid Sidek? Tidak cukup istimewa untuk disebut bisa menandingi. Kredit khusus mungkin harus diberikan kepada Dato Punch Gunalan. Meskipun masa ‘edar’ pemain ini cukup singkat, tapi pola bermainnya yang cepat, pertahanannya rapat dan gigih mengejar bola, agaknya mampu mengimbangi kecepatan Lin Dan.

Pemain kita? Saya cenderung menilai bahwa generasi Alan Budi Kusuma, Ardy B. Wiranata, Joko Supriyanto, Haryanto Arbi tidak akan mampu menahan permainan cepat yang sempurna serta smash silang pemain China ini. Mungkin justru Hendrawan akan mampu, tapi dia tidak punya senjata andalan yang mampu menembus pertahanan Lin Dan yang rapat itu. Juga Lim Swie King meskipun smashnya luarbiasa kencang, tapi seperti pemain type serang lain, King tidak punya pertahanan cukup efektif menahan serangan. Lagian King kelihatan, bahkan di masa jayanya, kesulitan menghadapi pemain China. Icuk Sugiarto? Maaf, tapi menahan Yang Yang saja tidak mampu. Mulyadi? Mungkin pertandingan akan rame dan ketat, tapi saya tidak yakin Lin Dan bisa dikalahkan.

Sang Maestro kita Rudy Hartono? Di masa jayanya (1968-1973) saya yakin akan mampu mengatasi. Apalagi dengan sistim nilai yang dipakai dahulu (bukan rally point seperti sekarang). Smash silang Lin Dan akan menemui tembok pertahanan Rudy yang didukung tarian baletnya untuk mengcover lapangan. Meskipun smashnya beberapa kali tembus, stamina Lin Dan pasti terkuras di sini. Netting tipis Lin Dan akan ketemu netting ekstra tipis Rudy. Lob serang Rudy yang mematahkan pinggang serta chopnya yang dilepaskan mendadak akan membuat Lin Dan pontang panting. Kalau pertandingan harus diselesaikan dengan rubberset, Rudy yang unggul stamina bisa dan pasti menang. Sayangnya pada Kejuaraan Dunia EGP (Emang Gue Pikirin) ini, Rudy tidak ikut (hehehe, cape deh, udah cerita ngotot!).

Jadi, siapa lagi yang mampu?

Ya betul, ’si anak nakal bin urakan’ yang angin-anginan itu, Iie Sumirat!

Sehari sebelum final, dalam konferensi pers, yang dihadiri wartawan seluruh dunia, Iie dengan santai berujar “Ah, iraha deui, bebeakan wae lah, sugan da moal paeh di lapangan“. Penterjemah asal Tapanuli yang cuma bisa menterjemahkan bahasa Indonesia ke Inggris, bengong seperti kena smash!

Malam ini, kedua pemain muncul ke lapangan diiringi standing ovation dari penonton.

Lin Dan dengan gayanya yang flamboyan mengenakan jersey kutung sebatas pangkal lengan (seperti uniform pemain bulutangkis sekarang) berwarna kuning-merah seragam tim China dengan celana hitam. Rambutnya yang dulunya jabrik dan crew-cut, sekarang ditata oleh hair stylist sehingga enak dilihat. Dengan tinggi 1,78m fisik Lin Dan sungguh atletis dan mempesona.

Iie Sumirat? Dengan tinggi badan hanya 1,68 m dengan tampilan sedikit membungkuk, perbandingan fisik mereka mirip Daud vs Goliath. Jerseynya berwarna orange ngejreng (gak tau kostum dapat dari mana) Rambutnya yang gondrong sebahu, cukup dikat dengan karet gelang, ga rapih pula. Sepatunya yang kanan berwarna merah, yang kiri berwarna kuning. Tunggulah sampai kamera tivi meng-close up, kuku tangannya yang panjang akan kelihatan dicat berwarna-warni.

Ketika pertandingan dimulai, penampilan Iie yang terkesan seperti “aneh” atau “sekadar cari sensasi” itu hilang seketika. Kedua pemain tampak berhati-hati. Lin Dan tidak terburu-buru mengeluarkan senjata mautnya, dan Iie yang memang tidak punya smash yang kencang, meladeni permainan lambat ini.

Iie yang mengembalikan netting Lin Dan dengan netting silang (senjata yang sudah diturunkan kepada muridnya Taufik Hidayat, sehingga Lin Dan mudah saja menduganya) sudah ditunggu Lin Dan di depan net, langsung disambar dengan chop (angka, Lin Dan). Tapi senjata Iie bukan cuma itu. Dropshot Lin Dan ke arah kanan Iie berhasil dikembalikan. Melihat posisi tubuh, pandangan mata dan posisi raket Iie, pengembalian bola pasti akan berupa netting silang kearah kanan depan bidang permainan Lin Dan. Lin Dan segera maju kearah net sambil bersiap melakukan chop kembali.

Ternyata dugaannya salah, bola dikedut oleh Iie, cepat sekali, dan jatuh dibidang kiri belakang Lin Dan (angka, Iie). Iie yang sadar betul akan dahsyatnya smash Lin Dan, berusaha menurunkan bola semaksimal mungkin. Tapi beberapa kali Iie harus mengembalikan pukulan dengan lob tanggung. Pukulan inilah jadi ‘makanan’ Lin Dan, Iie yang tidak punya pertahanan dan footwork sebagus Rudy, hampir pasti mati langkah. Tapi pukulan kedut Iie juga makin menggila, Lin Dan yang punya pertahanan super juga akan ‘menari‘ di lapangan mengejar bola Iie.

Lagian, sulit sekali menduga isi-kosongnya pukulan Iie. Diduga akan dikedut ternyata tidak dan sebaliknya. Smash Iie yang mengambang yang diejek oleh Lin Dan sebagai: “Ah, smash cemeeen!” kemudian menemukan bentuk terbaiknya. Smash Iie yang ‘cemen’ itu ternyata membentur net akan jatuh di bidang permainan Lin Dan dengan arah yang sangat ‘liar’, tidak terjangkau. Kebetulan? Kalau kejadian itu cuma sekali, mungkin saja. Tapi Iie melakukannya berkali-kali.

Siapa yang menang? Silahkan meneruskan sambil berimajinasi sendiri hehehe.

Tapi kalau Iie Sumirat bertanding dalam form terbaiknya seperti yang saya ceritakan di atas, Lin Dan akan pensiun sebagai “Super Dan“.

Masalah yang paling besar adalah Iie tidak selalu tampil prima, dalam satu turnamen bisa-bisa saja dia kalah dengan pemain dengan kualifikasi “yang tidak-tidak“. Penampilannya tidak konstan seperti Rudy, Mulyadi, atau yang lain.

(Iie Sumirat, lahir di Bandung, 15 November 1950, adalah salah satu tokoh dari “The Indonesian’s Magnificent Seven“: Rudy, King, Iie, Tjuntjun, Johan, Christian dan Ade Chandra. Mereka ditahun 1976-1979 tidak terkalahkan dimanapun, biarpun seluruh dunia bergabung. Iie Sumirat menjadi ‘jawara’ bukan karena permainannya lengkap seperti Rudy, smashnya dahsyat seperti King, pertahanannya yang kokoh seperti Hendrawan atau gigih pantang menyerah seperti Mulyadi. Tetapi karena pukulan kedut (flick)nya. Dalam posisi sulitpun, seperti ketika terjatuh, pukulan itu bisa keluar, dan justru membuat lawan mati langkah. Biasanya bolanya tidak terlalu cepat sehingga bisa dinikmati penonton, tapi arahnya yang ‘aneh’ membuat lawan terlambat atau salah bergerak untuk mengantisipasinya. Meskipun hanya lebih muda setahun dari Rudy dan sudah masuk Tim Thomas Indonesia sejak 1970 sebagai pemain cadangan, perjalanan Iie ke puncak karier boleh dibilang tidak se’mulus’ Rudy. Sifatnya yang angin-anginan dan pemberontak, mirip sekali dengan arah bolanya menjadi penyebabnya. Diperhitungkan menang, ternyata kalah. Direncanakan sebagai pemain utama, dia kabur dari Pelatnas. Kehadiran pelatih Tahir Jide di Pelatnas ternyata mengubah Iie. Disamping fisik dan staminanya membaik, kecepatan dan kekuatannya bertambah, dan yang paling penting mampu memberikan motivasi baru untuk menjadi yang terbaik. Gantung raket seusai Piala Thomas 1979, dan menjadi pelatih di klubnya yang kemudian bernama SGS Elektrik. Salah satu anak didiknya adalah Taufik Hidayat, meskipun sang murid tidak menyerap seluruh kemampuan ‘pukulan kedut’ gurunya)

Betul, meskipun ini cuma imajinasi, dan penuh haha hihi, tapi bukannya tidak berdasar. Gaya Lin Dan sekarang ini mirip sekali dengan gaya permainan Hou Jiachang, legenda China 1970an. Keras, kencang, smash silang yang sangat sulit ditebak arahnya dan pertahanan yang apik. Tapi toh Iie Sumirat berhasil menjinakkannya 12-15, 15-8, 18-13 di final Invitasi Dunia Bangkok, Maret 1976 yang diselenggarakan oleh WBF, badan dunia tandingan IBF bentukan RRC.

Tahun 1973 RRC mendaftarkan diri sebagai anggauta IBF. Terkendala oleh hadirnya Taiwan yang lebih dulu menjadi anggota dengan nama resmi “China“, IBF menolaknya.

Setelah itu, mereka melakukan “diplomasi bulutangkis” memperkenalkan kedahsyatan pemainnya. Pemain mereka Hou Jiachang dan Tang Hsien Hu (putra) serta Liang Chiu Hsia dan Chen Yu Niang (putri) menaklukkan seluruh pemain bulutangkis dunia, tanpa pernah kehilangan satu set pun! Awal 1976 dengan dukungan negara anggota IBF asal Asia mereka mendirikan WBF (World Badminton Federation) sebagai tandingan IBF. Maret 1976, WBF menyelenggarakan Invitasi Dunia di Bangkok yang hanya diikuti negara-negara Asia pendukungnya, serta mengundang Indonesia!

Pertemuan Indonesia-China ini memang sangat ditunggu, terutama karena Indonesia punya seorang Rudy Hartono yang sudah 7 kali juara All England. PBSI terlihat ambigu menyikapi tantangan ini, terutama karena waktunya yang bersamaan dengan All England. Tetap menyimpan Rudy, King serta Tjuntjun/Johan Wahyudi dan mengirim ke All England, tapi juga mengutus Iie Sumirat, Dhany Sartika serta ganda Christian/Ade Chandra ke Invitasi ini.

Saat itu Rudy sukses memenangkan All England nya yang ke 8, mengalahkan King di final, tetapi ganda Tjuntjun/Johan kandas di semi final oleh Bengt Froman/Thomas Kihlstroem asal Swedia. Di Bangkok? Si Seniman ‘urakan’ itu menghabisi Tang Hsien Hu di semi final dan menjadi juara setelah menekuk Hou Jiachang (yang sebelumnya tidak pernah kehilangan satu set pun!) di final. Christian/Ade Chandra juga sukses mengalahkan Hou/Tang di final. Hanya Verawaty, meskipun menang atas Chen Yu Niang di semi final, tapi kalah oleh Liang Chiu Hsia di final dengan rubber set

Kapan lagi ya kehebatan Indonesia ini terulang di dunia nyata, tidak sekadar imajinasi saya saja?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar