Piala Thomas 1970, Pembalasan yang Manis
A. Tim Indonesia di Thomas Cup 1970
Kali ini tidak ada seorangpun yang meragukan pilihan PBSI dalam menentukan susunan tim Piala Thomas 1970 ini. Wartawan, Kritikus, Masyarakat Umum, apalagi internal PBSI sepakat bahwa inilah susunan tim terbaik dari materi pemain yang ada, Selain pilihannya memang atas dasar seleksi dan Pelatnas (meskipun bukan jangka panjang seperti sekarang).
Sang Rajawali (Rudy Hartono, 20 tahun) sudah tumbuh kuat, bentangan sayapnya sudah meliputi dunia. Rasanya tidak ada lawan yang akan mampu menjinakkannya. Juara All England sudah 3 kali dibawanya pulang.
Si Nomer 2 (itu memang julukannya) Muljadi, 27 tahun (masih ejaan lama, harap dibaca sebagai Mulyadi) sedang berada di puncak. Sudah 3 kali memperkuat tim Piala Thomas Indonesia. Api yang ada di dirinya belum tampak akan menyurut. Penampilannya di tunggal Thomas Cup sungguh sempurna, belum pernah kalah!.
Tunggal Ketiga akhirnya dipercayakan juga kepada Darmadi (Wong Pek Sien), 27 tahun. Tidak ada lagi yang meragukan kapabilitas pemain ini, apalagi setahun sebelum final digelar (1969), dia menciptakan All Indonesian Final untuk kedua kalinya bagi Indonesia (yang pertama tahun 1959, Tan Joe Hock vs Ferry Sonneville) di arena akbar (ketika itu), All England.
Cadangan di Tunggal adalah Djaliteng, 24 tahun terutama karena kemampuannya bermain ganda, dan si Seniman, pemain eksentrik yang angin-anginan, Iie Sumirat 20 tahun.
Sektor ganda, diisi oleh pasangan Indra Gunawan/Nara Sudjana dan Indratno/Mintarja (Mintarya: EYD). Meskipun masih menjadi titik lemah tim Indonesia, karena tidak dominan seperti tunggal, tapi semua sepakat bahwa ini adalah pilihan terbaik. (Nara Sudjana kakak kandung Iie Sumirat dan Indra Gunawan sekarang sering jadi komentator di tivi).
Karena masih ada ketentuan satu pemain tunggal harus merangkap pemain ganda, kemungkinan susunan pemain ganda bisa menjadi Rudy/Indratno, Rudy/Indra Gunawan, Mulyadi/Mintarja atau Djaliteng/Indra Gunawan.
B. Pertandingan Zona
Karena bukan lagi sebagai juara bertahan, Indonesia harus bertanding dari ‘kampung ke kampung’ seperti ketika merebut Piala Thomas 1958. Sialnya, berkat tuduhan miring dunia bahwa publik Istora adalah supporter yang ‘ganas’, tahun 1970 ini tidak satu kalipun Indonesia bermain di kandang. Sialnya lagi, Indonesia masuk dalam grup zona Asia bersama Pakistan, India, Hongkong, Thailand dan Jepang.
Tim bulutangkis Jepang tahun itu adalah tim bulutangkis terkuat dalam sejarah Jepang dalam keikutsertaannya di Piala Thomas. Tunggal kedua mereka Masao Akiyama pernah mencapai final All England 1966, dan ganda Ippei Kojima/Masao Akiyama adalah semifinalis All England tahun itu. Thailand? Tunggal Utama veteran Sangob Ratanasorn dan pemain muda Bandid Jayjen (yang kemudian sering menyulitkan Rudy) jadi jaminan mutu, apalagi mereka main dikandang sendiri. Grup ini, adalah ‘grup neraka’, terutama karena hanya juara grup yang lolos ke babak Interzona selanjutnya.
Hadangan Indonesia yang pertama adalah India, di Jaipur. Indonesia tidak menemukan kesulitan berarti, India tunduk dengan 2-7.
Drama yang sebenarnya terjadi di babak berikut. Publik Bangkok ternyata sama ganasnya dengan publik Istora. Hari pertama Indonesia-Thailand berbagi angka 2-2. Hari kedua Rudy menemui lawan keras dari penonton, tapi dapat melibas Bandid dengan 17-14, 15-9. (Indonesia unggul 3-2). Tunggal kedua Muljadi, di set pertama sudah unggul 6-1 atas Sangob, protes kepada wasit karena smashnya yang masuk dianggap keluar. Ketika perdebatan masih terjadi, publik yang mencemooh, melempar Muljadi dengan botol minuman (ketikaitu botol minuman dari beling loh!).
Muljadi sebenarnya tidak terganggu, tapi official Indonesia yang tersinggung berat menarik Muljadi keluar dari lapangan dan tidak bersedia melanjutkan pertandingan. Malam itu juga Indonesia dinyatakan kalah w.o. 3-6! Indonesia kemudian mengajukan banding ke IBF (sekarang WBF). Beruntunglah Indonesia punya pelobby kuat seperti Drs. Sudirman (ketua PBSI kala itu). IBF menganulir keputusan OC, memutuskan Muljadi kalah (3-3) tapi mengharuskan 3 pertandingan sisa harus diteruskan di Hongkong. Gantian Thailand yang ogah dan Indonesia dinyatakan menang 6-3. (Pembalasan Manis Pertama).
Tapi adrenalin yang terpacu belum berhenti sampai disini. Entah dengan alasan apa, tim tidak memainkan Muljadi pada partai krusial melawan Jepang di Kyoto. Karena ternyata bulutangkis memang kurang populer di Jepang, pertandingan dilakukan nyaris tanpa penonton. Meskipun demikian, Indonesia harus dengan susah payah berjuang sampai partai terakhir. Dan lolos dari lubang jarum 5-4, terutama dari 4 angka yang dipersembahkan Rudy (2 tunggal dan 2 ganda). Nyaris saja!
C. Pertandingan InterZona
Semua pertandingan play-off Interzona dan Final diadakan di Kualalumpur, Malaysia.
Indonesia tidak lagi menemui lawan seimbang, menekuk New Zealand juara Zona Australia di babak pertama 9-0, dan di semi final membenamkan Canada, juara zona Amerika juga 9-0. Demikian perkasanya Indonesia sehingga tunggal pertama dan tunggal kedua Canada. Jamie Poulson dan Wayne McDonnel dalam 8 set pertandingan melawan Rudy dan Muljadi, hanya memperoleh angka 21 (rata2 2,63 poin saja setiap set!). Indonesia ke Final!
Malaysia yang juara bertahan terkena peraturan baru IBF. Bila sebelumnya juara bertahan hanya ‘duduk manis’ menunggu pemenang Challenge Round/Interzona, sekarang harus ikut bertanding, meskipun cuma sekali, dan di Semi Final. Tapi lawan pertama dan satu-satunya Malaysia di babak ini ternyata bukan lawan kacangan, juara zona Eropa, Denmark!
Tapi Denmark, yang sebenarnya lebih diunggulkan punya masalah besar sebelum bertanding. Tunggal ke 3 mereka, veteran Erland Kops yang memprotes keputusan IBF yang meng anulir keputusan OC di Bangkok. Keputusan yang, menurut dia, meng-anakemas-kan tim Indonesia. Dia membatalkan keikutsertaannya di Piala Thomas sesaat sebelum tim Denmark berangkat ke KL. Kemudian ternyata pemain Denmark yang baru pertama kali main di daerah tropis, gagal ber aklimatisasi melawan iklim panas dan lembab. Tunggal Utama mereka, Svend Pri, 25 tahun terkena diare hebat dan tidak mampu bertanding. Denmark akhirnya membiarkan tunggal utama ini kosong (memberikan angka gratis 2-0 kepada Malaysia). Tapi ternyata Malaysia yang hanya memerlukan tambahan 3 angka dari 7 partai sisa yang diperebutkan, tidak mendapatkannya dengan mudah. Tunggal kedua Denmark Elo Hansen mendapatkan 2 angka atas kemenangannya dari Tan Aik Huang dan Gunalan, Veteran Tom Bacher menang atas tunggal ketiga Malaysia Abdul Rahman. Bahkan Hansen/Bacher nyaris menjadi pahlawan Denmark, karena hanya kalah rubber set dari Gunalan/BoonBee di partai terakhir. Malaysia maju ke Final dengan babak belur, 5-4.
D. Strategi Malaysia
Meskipun lebih diunggulkan, sebenarnya di atas kertas kekuatan Indonesia dan Malaysia, jujur harus diakui, seimbang. Kalaupun menang, Indonesia mungkin hanya mampu menang 5-4, atau paling sial (buat Malaysia) 6-3.
Tan Aik Huang, 25 tahun, masih jadi tulang punggung tim.
Tunggal kedua Punch Gunalan 26 tahun meskipun ‘rookie’ di arena Thomas Cup, tapi jauh lebih unggul dari Yew Cheng Hoe yang sudah mengundurkan diri. Satu-satunya kelemahan Malaysia di Tunggal hanyalah tunggal ketiga Abdul Rahman Muhammed 21 tahun yang juga new comer. Ganda Utama mereka Gunalan/Ng Boon Bee masih merupakan ganda utama dunia. Tan Yee Khan yang mengundurkan diri digantikan sempurna oleh Gunalan. Setahun kemudian (1971), ganda ini menjadi juara All England. Ganda kedua Tan Aik Huang/Ng Tat Wai hanya kalah tipis dari ganda utama. Jadi sebenarnya Malaysia patut percaya diri menghadapi Indonesia. Apalagi, pertandingan ini dilakukan di kandang sendiri.
Tim Malaysia juga ternyata pandai berhitung.
Malaysia menghitung, tidak ada satupun pemain tunggal Malaysia yang mampu menahan tunggal utama dan kedua Indonesia Rudy-Muljadi. Tunggal ketiga Malaysia Abdul Rahman hampir pasti akan kalah juga oleh Darmadi. Jadi tidak ada gunanya mendapat 4 angka dari ganda, kalau dari tunggal mereka kehilangan 5 angka. Jadi, mereka bertekad ingin mencuri 1 angka di tunggal sambil memastikan 4 angka dari ganda.
Karena itu Tan Aik Huang dipasang menjadi tunggal ketiga dan bertugas harus mendapat 3 angka (1 dari tunggal dan 2 dari ganda). Ganda utama Gunalan/Ng Boon Bee, dipastikan menyumbang 2 angka. Apalagi, pertandingan ini dilakukan di kandang sendiri.
Tapi ternyata pertandingan tidak berjalan sesuai rencana. (Bola bundar, kata orang sepakbola).
Pertandingan final ini diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 5 dan 6 juni 1970.
E. Final Hari Pertama
Sebagaimana biasanya, Muljadi yang telat panas, ketinggalan lebih dulu 0-4 oleh Punch Gunalan. Dukungan penonton yang gegap gempita, ganas dan tidak kalah kurangajarnya oleh penonton Istora 1967. Pertamakali terlihat di arena Piala Thomas, ada lambaian bendera raksasa di tribun Stadion Negara KL. Lambaian bendera besar yang disertai kibaran bendera kecil yang tidak seragam, betul-betul menjengkelkan (penonton Indonesia, maksudnya!). Penonton Malaysia memang kreatif. Tapi kelihatan sekali kalau Muljadi tidak terganggu dan ekspresi mukanya tetap “dingin”. Justru riuh rendah dukungan ini kelihatan jadi bumerang, Gunalan kelihatan demam panggung, langkahnya kelihatan berat. Mulyadi menang relatif mudah 15-9, 15-5. (1-0, Indonesia).
Rudy Hartono, benar-benar jadi sasaran “tembak” penonton. Bermain serbasalah sehingga cukup sulit untuk melewati set 1, tapi kemudian ritmenya pulih kembali di set 2 dan tidak membiarkan Abdul Rahman ganti napas. 15-12, 15-2. (2-0, Indonesia).
Istirahat 30 menit, Rudy turun kembali ke lapangan bersama Indra Gunawan melawan ganda Malaysia yang lebih segar Tan Aik Huang/Ng Tat Wai. Ternyata Aik Huang tidak mampu melepaskan diri dari stigma “selalu kalah” ketika ketemu Rudy, dan Tat Wai juga tidak mampu mengangkat moral pasangannya itu, sehingga kalah straight set saja 9-15, 11-15. (Indonesia 3-0).
Partai ke 4 yang mempertemukan pasangan no.2 Indonesia Indratno/Mintarja dengan pasangan utama Malaysia Gunalan/Ng Boon Bee menjadi pertandingan paling “panas” malam itu. Meskipun akhirnya kalah tapi pasangan Indonesia itu amat gigih, jatuh bangun mengejar bola dan setiap angka tidak didapat dengan mudah. Pertandingan memakan waktu hampir 1 jam (57 menit), 7-15, 15-13, 10-15.
Hari pertama Indonesia unggul 3-1. Pembalasan manis kedua. (Tahun 1967 hari pertama, Indonesia kalah 1-3 di kandang).
F. Final Hari Kedua
Strategi Malaysia untuk mencuri 1 partai tunggal dari Indonesia akhirnya berhasil. Tunggal ke 3 Indonesia Darmadi, membuka pertandingan melawan Tan Aik Huang yang ditempatkan sebagai Tunggal ke 3 Malaysia. Darmadi memberi perlawanan keras, meskipun akhirnya kalah 12-15, 12-15 (Malaysia memperkecil ketinggalan, 2-3).
Muljadi yang turun di partai kedua langsung menggebrak dalam tempo tinggi dan tidak membiarkan Abdul Rahman untuk berkembang, dan menang 15-5, 15-5 dalam waktu hanya 10 dan 12 menit!). (Indonesia selangkah lagi, 4-2).
Rudy Hartono yang turun sebagai pemain kunci penentu kemenangan Indonesia kelihatan bermain tegang. Terburu-buru ingin menang, memperbanyak smash yang ternyata malah membuatnya mati langkah sendiri ketika lawannya mampu mengembalikannya. Sebaliknya Punch Gunalan menunjukkan kelas sebenarnya, tidak lagi demam panggung seperti hari pertama. Bola sulit Rudy gigih dikejarnya dan dikembalikan sama sulitnya. Angka berkejaran ketat dan Rudy selalu tertinggal 1-3, 4-7, 11-13, 13-14, 15-15,16-16 dan penonton baru benar-benar percaya Rudy menang set pertama, ketika pengembalian bola Gunalan nyangkut 17-16. Tapi penonton menyaksikan, rasa percaya diri Rudy kembali pulih di set ke 2, bermain sabar tidak lagi terburu2 smash. Permainan Gunalan diladeninya dengan tarian balet yang sangat stylish itu, netting sangat tipis dan lob akurat. Gunalan dikocoknya habis meskipun akhirnya kalah 12-15. Di set penentuan setelah istirahat 5 menit ternyata tidak membuat Gunalan pulih. Gunalan kelihatan benar kalau kehabisan “bensin”. Permainan cepat yang kembali diperagakan Rudy membuat Gunalan kedodoran. Bola silang Rudy sering dibiarkannya saja, karena kehabisan napas. Rudy akhirnya memenangkan set penentuan ini dengan mudah 15-3. Riuh rendah dan gegap gempitanya penonton pendukung tuan rumah ternyata tidak banyak mempengaruhi performa Rudy. Bahkan Gunalan dengan sportif beberapa kali berusaha menenangkan penonton.
Indonesia menang 5-2 dan Piala Thomas kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi!
2 partai ganda yang tersisa, meskipun tidak lagi menentukan, tetapi tetap berlangsung menegangkan dan ‘panas’. Semua berakhir dengan rubber set. Askar Diraja Malaysia kelihatan tidak patah semangat, pasukan Indonesia juga bermain sungguh-sungguh demi kehormatan diri, dan penonton harus diberi apresiasi, karena meskipun telah kehilangan Piala Thomas, tetapi tetap konsisten mendukung tim negaranya sambil tetap tidak bosan mengejek penampilan saudaranya serumpun.
Rudy Hartono/Indra Gunawan menang dengan susah payah atas Gunalan/Ng Boon Bee 9-15, 17-16, 15-6. Dan Indratno/Mintarja berjuang sangat ngotot, jatuh bangun untuk lolos dari lubang jarum, dan menang atas Tan Aik Huang/Ng Tat Wai 10-15, 18-16, 15-10. Hasil akhir 7-2 untuk Indonesia.
G. Epilog
Strategi Malaysia untuk mencuri 1 tunggal dari Indonesia berjalan baik. Tapi 4 angka ganda yang dihitung menjadi milik Malaysia, ternyata 3 diserobot Indonesia. Sebaliknya kemenangan 3 partai ganda ini menjadi awal kebangkitan dan kejayaan ganda putra Indonesia, sampai kini!. Pengurus PBSI menjadi yakin harus sesegera mungkin menyusun ganda tangguh melalui pelatnas jangka panjang, karena angka yang disumbangkan ganda, sama nilainya dengan angka dari tunggal. Pembinaan sektor ganda tidak lagi menjadi anak tiri. Pasangan Indratno/Mintarja dan Rudy/Indra Gunawan ini juga ‘ditemukan’ di Pelatnas.
Rudy Hartono sudah di puncak performanya, menjalankan tugas dengan sangat baik dan mempersembahkan 4 angka untuk Indonesia (2 tunggal, 2 ganda). Sekedar catatan, ganda Indonesia Rudy/Indra Gunawan bertemu kembali dengan ganda Malaysia Gunalan/Boon Bee, di final All England setahun kemudian (1971). Justru di tempat netral inilah, ganda Malaysia ini berhasil membuat revans dan menjadi juara.
Berkat lobby Ketua PBSI Drs. Sudirman dan kenyataan di lapangan, akhirnya IBF menyadari bahwa sikap penonton yang ‘riuh rendah’ dan ‘kurangajar’ tidak hanya menjadi ‘monopoli’ Indonesia. Pelan-pelan disadari bahwa penonton Asia lebih ‘panas’ dari penonton Eropa. Standar kelakuan penonton bulutangkis tidak lagi disamakan dengan penonton tennis yang lebih ‘beradab’.
Strategi Malaysia yang menempatkan tunggal utama mereka sebagai tunggal ketiga memicu ide IBF untuk menyusun sistim peringkat dunia bagi pemain. Di masa datang, penyusunan daftar pemain harus berdasarkan peringkat dunia pemain ybs dan tidak bisa diaduk-aduk seperti itu.
Diluar itu semua, kemenangan telak Indonesia 7-2 atas Malaysia di Kualalumpur ini, meskipun agak di luar perhitungan para pengamat, menjadi pembalasan sangat manis dari kekalahan menyakitkan akibat peristiwa Istora tahun 1967.
Anda setuju kan?
A. Tim Indonesia di Thomas Cup 1970
Kali ini tidak ada seorangpun yang meragukan pilihan PBSI dalam menentukan susunan tim Piala Thomas 1970 ini. Wartawan, Kritikus, Masyarakat Umum, apalagi internal PBSI sepakat bahwa inilah susunan tim terbaik dari materi pemain yang ada, Selain pilihannya memang atas dasar seleksi dan Pelatnas (meskipun bukan jangka panjang seperti sekarang).
Sang Rajawali (Rudy Hartono, 20 tahun) sudah tumbuh kuat, bentangan sayapnya sudah meliputi dunia. Rasanya tidak ada lawan yang akan mampu menjinakkannya. Juara All England sudah 3 kali dibawanya pulang.
Si Nomer 2 (itu memang julukannya) Muljadi, 27 tahun (masih ejaan lama, harap dibaca sebagai Mulyadi) sedang berada di puncak. Sudah 3 kali memperkuat tim Piala Thomas Indonesia. Api yang ada di dirinya belum tampak akan menyurut. Penampilannya di tunggal Thomas Cup sungguh sempurna, belum pernah kalah!.
Tunggal Ketiga akhirnya dipercayakan juga kepada Darmadi (Wong Pek Sien), 27 tahun. Tidak ada lagi yang meragukan kapabilitas pemain ini, apalagi setahun sebelum final digelar (1969), dia menciptakan All Indonesian Final untuk kedua kalinya bagi Indonesia (yang pertama tahun 1959, Tan Joe Hock vs Ferry Sonneville) di arena akbar (ketika itu), All England.
Cadangan di Tunggal adalah Djaliteng, 24 tahun terutama karena kemampuannya bermain ganda, dan si Seniman, pemain eksentrik yang angin-anginan, Iie Sumirat 20 tahun.
Sektor ganda, diisi oleh pasangan Indra Gunawan/Nara Sudjana dan Indratno/Mintarja (Mintarya: EYD). Meskipun masih menjadi titik lemah tim Indonesia, karena tidak dominan seperti tunggal, tapi semua sepakat bahwa ini adalah pilihan terbaik. (Nara Sudjana kakak kandung Iie Sumirat dan Indra Gunawan sekarang sering jadi komentator di tivi).
Karena masih ada ketentuan satu pemain tunggal harus merangkap pemain ganda, kemungkinan susunan pemain ganda bisa menjadi Rudy/Indratno, Rudy/Indra Gunawan, Mulyadi/Mintarja atau Djaliteng/Indra Gunawan.
B. Pertandingan Zona
Karena bukan lagi sebagai juara bertahan, Indonesia harus bertanding dari ‘kampung ke kampung’ seperti ketika merebut Piala Thomas 1958. Sialnya, berkat tuduhan miring dunia bahwa publik Istora adalah supporter yang ‘ganas’, tahun 1970 ini tidak satu kalipun Indonesia bermain di kandang. Sialnya lagi, Indonesia masuk dalam grup zona Asia bersama Pakistan, India, Hongkong, Thailand dan Jepang.
Tim bulutangkis Jepang tahun itu adalah tim bulutangkis terkuat dalam sejarah Jepang dalam keikutsertaannya di Piala Thomas. Tunggal kedua mereka Masao Akiyama pernah mencapai final All England 1966, dan ganda Ippei Kojima/Masao Akiyama adalah semifinalis All England tahun itu. Thailand? Tunggal Utama veteran Sangob Ratanasorn dan pemain muda Bandid Jayjen (yang kemudian sering menyulitkan Rudy) jadi jaminan mutu, apalagi mereka main dikandang sendiri. Grup ini, adalah ‘grup neraka’, terutama karena hanya juara grup yang lolos ke babak Interzona selanjutnya.
Hadangan Indonesia yang pertama adalah India, di Jaipur. Indonesia tidak menemukan kesulitan berarti, India tunduk dengan 2-7.
Drama yang sebenarnya terjadi di babak berikut. Publik Bangkok ternyata sama ganasnya dengan publik Istora. Hari pertama Indonesia-Thailand berbagi angka 2-2. Hari kedua Rudy menemui lawan keras dari penonton, tapi dapat melibas Bandid dengan 17-14, 15-9. (Indonesia unggul 3-2). Tunggal kedua Muljadi, di set pertama sudah unggul 6-1 atas Sangob, protes kepada wasit karena smashnya yang masuk dianggap keluar. Ketika perdebatan masih terjadi, publik yang mencemooh, melempar Muljadi dengan botol minuman (ketikaitu botol minuman dari beling loh!).
Muljadi sebenarnya tidak terganggu, tapi official Indonesia yang tersinggung berat menarik Muljadi keluar dari lapangan dan tidak bersedia melanjutkan pertandingan. Malam itu juga Indonesia dinyatakan kalah w.o. 3-6! Indonesia kemudian mengajukan banding ke IBF (sekarang WBF). Beruntunglah Indonesia punya pelobby kuat seperti Drs. Sudirman (ketua PBSI kala itu). IBF menganulir keputusan OC, memutuskan Muljadi kalah (3-3) tapi mengharuskan 3 pertandingan sisa harus diteruskan di Hongkong. Gantian Thailand yang ogah dan Indonesia dinyatakan menang 6-3. (Pembalasan Manis Pertama).
Tapi adrenalin yang terpacu belum berhenti sampai disini. Entah dengan alasan apa, tim tidak memainkan Muljadi pada partai krusial melawan Jepang di Kyoto. Karena ternyata bulutangkis memang kurang populer di Jepang, pertandingan dilakukan nyaris tanpa penonton. Meskipun demikian, Indonesia harus dengan susah payah berjuang sampai partai terakhir. Dan lolos dari lubang jarum 5-4, terutama dari 4 angka yang dipersembahkan Rudy (2 tunggal dan 2 ganda). Nyaris saja!
C. Pertandingan InterZona
Semua pertandingan play-off Interzona dan Final diadakan di Kualalumpur, Malaysia.
Indonesia tidak lagi menemui lawan seimbang, menekuk New Zealand juara Zona Australia di babak pertama 9-0, dan di semi final membenamkan Canada, juara zona Amerika juga 9-0. Demikian perkasanya Indonesia sehingga tunggal pertama dan tunggal kedua Canada. Jamie Poulson dan Wayne McDonnel dalam 8 set pertandingan melawan Rudy dan Muljadi, hanya memperoleh angka 21 (rata2 2,63 poin saja setiap set!). Indonesia ke Final!
Malaysia yang juara bertahan terkena peraturan baru IBF. Bila sebelumnya juara bertahan hanya ‘duduk manis’ menunggu pemenang Challenge Round/Interzona, sekarang harus ikut bertanding, meskipun cuma sekali, dan di Semi Final. Tapi lawan pertama dan satu-satunya Malaysia di babak ini ternyata bukan lawan kacangan, juara zona Eropa, Denmark!
Tapi Denmark, yang sebenarnya lebih diunggulkan punya masalah besar sebelum bertanding. Tunggal ke 3 mereka, veteran Erland Kops yang memprotes keputusan IBF yang meng anulir keputusan OC di Bangkok. Keputusan yang, menurut dia, meng-anakemas-kan tim Indonesia. Dia membatalkan keikutsertaannya di Piala Thomas sesaat sebelum tim Denmark berangkat ke KL. Kemudian ternyata pemain Denmark yang baru pertama kali main di daerah tropis, gagal ber aklimatisasi melawan iklim panas dan lembab. Tunggal Utama mereka, Svend Pri, 25 tahun terkena diare hebat dan tidak mampu bertanding. Denmark akhirnya membiarkan tunggal utama ini kosong (memberikan angka gratis 2-0 kepada Malaysia). Tapi ternyata Malaysia yang hanya memerlukan tambahan 3 angka dari 7 partai sisa yang diperebutkan, tidak mendapatkannya dengan mudah. Tunggal kedua Denmark Elo Hansen mendapatkan 2 angka atas kemenangannya dari Tan Aik Huang dan Gunalan, Veteran Tom Bacher menang atas tunggal ketiga Malaysia Abdul Rahman. Bahkan Hansen/Bacher nyaris menjadi pahlawan Denmark, karena hanya kalah rubber set dari Gunalan/BoonBee di partai terakhir. Malaysia maju ke Final dengan babak belur, 5-4.
D. Strategi Malaysia
Meskipun lebih diunggulkan, sebenarnya di atas kertas kekuatan Indonesia dan Malaysia, jujur harus diakui, seimbang. Kalaupun menang, Indonesia mungkin hanya mampu menang 5-4, atau paling sial (buat Malaysia) 6-3.
Tan Aik Huang, 25 tahun, masih jadi tulang punggung tim.
Tunggal kedua Punch Gunalan 26 tahun meskipun ‘rookie’ di arena Thomas Cup, tapi jauh lebih unggul dari Yew Cheng Hoe yang sudah mengundurkan diri. Satu-satunya kelemahan Malaysia di Tunggal hanyalah tunggal ketiga Abdul Rahman Muhammed 21 tahun yang juga new comer. Ganda Utama mereka Gunalan/Ng Boon Bee masih merupakan ganda utama dunia. Tan Yee Khan yang mengundurkan diri digantikan sempurna oleh Gunalan. Setahun kemudian (1971), ganda ini menjadi juara All England. Ganda kedua Tan Aik Huang/Ng Tat Wai hanya kalah tipis dari ganda utama. Jadi sebenarnya Malaysia patut percaya diri menghadapi Indonesia. Apalagi, pertandingan ini dilakukan di kandang sendiri.
Tim Malaysia juga ternyata pandai berhitung.
Malaysia menghitung, tidak ada satupun pemain tunggal Malaysia yang mampu menahan tunggal utama dan kedua Indonesia Rudy-Muljadi. Tunggal ketiga Malaysia Abdul Rahman hampir pasti akan kalah juga oleh Darmadi. Jadi tidak ada gunanya mendapat 4 angka dari ganda, kalau dari tunggal mereka kehilangan 5 angka. Jadi, mereka bertekad ingin mencuri 1 angka di tunggal sambil memastikan 4 angka dari ganda.
Karena itu Tan Aik Huang dipasang menjadi tunggal ketiga dan bertugas harus mendapat 3 angka (1 dari tunggal dan 2 dari ganda). Ganda utama Gunalan/Ng Boon Bee, dipastikan menyumbang 2 angka. Apalagi, pertandingan ini dilakukan di kandang sendiri.
Tapi ternyata pertandingan tidak berjalan sesuai rencana. (Bola bundar, kata orang sepakbola).
Pertandingan final ini diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia, 5 dan 6 juni 1970.
E. Final Hari Pertama
Sebagaimana biasanya, Muljadi yang telat panas, ketinggalan lebih dulu 0-4 oleh Punch Gunalan. Dukungan penonton yang gegap gempita, ganas dan tidak kalah kurangajarnya oleh penonton Istora 1967. Pertamakali terlihat di arena Piala Thomas, ada lambaian bendera raksasa di tribun Stadion Negara KL. Lambaian bendera besar yang disertai kibaran bendera kecil yang tidak seragam, betul-betul menjengkelkan (penonton Indonesia, maksudnya!). Penonton Malaysia memang kreatif. Tapi kelihatan sekali kalau Muljadi tidak terganggu dan ekspresi mukanya tetap “dingin”. Justru riuh rendah dukungan ini kelihatan jadi bumerang, Gunalan kelihatan demam panggung, langkahnya kelihatan berat. Mulyadi menang relatif mudah 15-9, 15-5. (1-0, Indonesia).
Rudy Hartono, benar-benar jadi sasaran “tembak” penonton. Bermain serbasalah sehingga cukup sulit untuk melewati set 1, tapi kemudian ritmenya pulih kembali di set 2 dan tidak membiarkan Abdul Rahman ganti napas. 15-12, 15-2. (2-0, Indonesia).
Istirahat 30 menit, Rudy turun kembali ke lapangan bersama Indra Gunawan melawan ganda Malaysia yang lebih segar Tan Aik Huang/Ng Tat Wai. Ternyata Aik Huang tidak mampu melepaskan diri dari stigma “selalu kalah” ketika ketemu Rudy, dan Tat Wai juga tidak mampu mengangkat moral pasangannya itu, sehingga kalah straight set saja 9-15, 11-15. (Indonesia 3-0).
Partai ke 4 yang mempertemukan pasangan no.2 Indonesia Indratno/Mintarja dengan pasangan utama Malaysia Gunalan/Ng Boon Bee menjadi pertandingan paling “panas” malam itu. Meskipun akhirnya kalah tapi pasangan Indonesia itu amat gigih, jatuh bangun mengejar bola dan setiap angka tidak didapat dengan mudah. Pertandingan memakan waktu hampir 1 jam (57 menit), 7-15, 15-13, 10-15.
Hari pertama Indonesia unggul 3-1. Pembalasan manis kedua. (Tahun 1967 hari pertama, Indonesia kalah 1-3 di kandang).
F. Final Hari Kedua
Strategi Malaysia untuk mencuri 1 partai tunggal dari Indonesia akhirnya berhasil. Tunggal ke 3 Indonesia Darmadi, membuka pertandingan melawan Tan Aik Huang yang ditempatkan sebagai Tunggal ke 3 Malaysia. Darmadi memberi perlawanan keras, meskipun akhirnya kalah 12-15, 12-15 (Malaysia memperkecil ketinggalan, 2-3).
Muljadi yang turun di partai kedua langsung menggebrak dalam tempo tinggi dan tidak membiarkan Abdul Rahman untuk berkembang, dan menang 15-5, 15-5 dalam waktu hanya 10 dan 12 menit!). (Indonesia selangkah lagi, 4-2).
Rudy Hartono yang turun sebagai pemain kunci penentu kemenangan Indonesia kelihatan bermain tegang. Terburu-buru ingin menang, memperbanyak smash yang ternyata malah membuatnya mati langkah sendiri ketika lawannya mampu mengembalikannya. Sebaliknya Punch Gunalan menunjukkan kelas sebenarnya, tidak lagi demam panggung seperti hari pertama. Bola sulit Rudy gigih dikejarnya dan dikembalikan sama sulitnya. Angka berkejaran ketat dan Rudy selalu tertinggal 1-3, 4-7, 11-13, 13-14, 15-15,16-16 dan penonton baru benar-benar percaya Rudy menang set pertama, ketika pengembalian bola Gunalan nyangkut 17-16. Tapi penonton menyaksikan, rasa percaya diri Rudy kembali pulih di set ke 2, bermain sabar tidak lagi terburu2 smash. Permainan Gunalan diladeninya dengan tarian balet yang sangat stylish itu, netting sangat tipis dan lob akurat. Gunalan dikocoknya habis meskipun akhirnya kalah 12-15. Di set penentuan setelah istirahat 5 menit ternyata tidak membuat Gunalan pulih. Gunalan kelihatan benar kalau kehabisan “bensin”. Permainan cepat yang kembali diperagakan Rudy membuat Gunalan kedodoran. Bola silang Rudy sering dibiarkannya saja, karena kehabisan napas. Rudy akhirnya memenangkan set penentuan ini dengan mudah 15-3. Riuh rendah dan gegap gempitanya penonton pendukung tuan rumah ternyata tidak banyak mempengaruhi performa Rudy. Bahkan Gunalan dengan sportif beberapa kali berusaha menenangkan penonton.
Indonesia menang 5-2 dan Piala Thomas kembali ke pangkuan Ibu Pertiwi!
2 partai ganda yang tersisa, meskipun tidak lagi menentukan, tetapi tetap berlangsung menegangkan dan ‘panas’. Semua berakhir dengan rubber set. Askar Diraja Malaysia kelihatan tidak patah semangat, pasukan Indonesia juga bermain sungguh-sungguh demi kehormatan diri, dan penonton harus diberi apresiasi, karena meskipun telah kehilangan Piala Thomas, tetapi tetap konsisten mendukung tim negaranya sambil tetap tidak bosan mengejek penampilan saudaranya serumpun.
Rudy Hartono/Indra Gunawan menang dengan susah payah atas Gunalan/Ng Boon Bee 9-15, 17-16, 15-6. Dan Indratno/Mintarja berjuang sangat ngotot, jatuh bangun untuk lolos dari lubang jarum, dan menang atas Tan Aik Huang/Ng Tat Wai 10-15, 18-16, 15-10. Hasil akhir 7-2 untuk Indonesia.
G. Epilog
Strategi Malaysia untuk mencuri 1 tunggal dari Indonesia berjalan baik. Tapi 4 angka ganda yang dihitung menjadi milik Malaysia, ternyata 3 diserobot Indonesia. Sebaliknya kemenangan 3 partai ganda ini menjadi awal kebangkitan dan kejayaan ganda putra Indonesia, sampai kini!. Pengurus PBSI menjadi yakin harus sesegera mungkin menyusun ganda tangguh melalui pelatnas jangka panjang, karena angka yang disumbangkan ganda, sama nilainya dengan angka dari tunggal. Pembinaan sektor ganda tidak lagi menjadi anak tiri. Pasangan Indratno/Mintarja dan Rudy/Indra Gunawan ini juga ‘ditemukan’ di Pelatnas.
Rudy Hartono sudah di puncak performanya, menjalankan tugas dengan sangat baik dan mempersembahkan 4 angka untuk Indonesia (2 tunggal, 2 ganda). Sekedar catatan, ganda Indonesia Rudy/Indra Gunawan bertemu kembali dengan ganda Malaysia Gunalan/Boon Bee, di final All England setahun kemudian (1971). Justru di tempat netral inilah, ganda Malaysia ini berhasil membuat revans dan menjadi juara.
Berkat lobby Ketua PBSI Drs. Sudirman dan kenyataan di lapangan, akhirnya IBF menyadari bahwa sikap penonton yang ‘riuh rendah’ dan ‘kurangajar’ tidak hanya menjadi ‘monopoli’ Indonesia. Pelan-pelan disadari bahwa penonton Asia lebih ‘panas’ dari penonton Eropa. Standar kelakuan penonton bulutangkis tidak lagi disamakan dengan penonton tennis yang lebih ‘beradab’.
Strategi Malaysia yang menempatkan tunggal utama mereka sebagai tunggal ketiga memicu ide IBF untuk menyusun sistim peringkat dunia bagi pemain. Di masa datang, penyusunan daftar pemain harus berdasarkan peringkat dunia pemain ybs dan tidak bisa diaduk-aduk seperti itu.
Diluar itu semua, kemenangan telak Indonesia 7-2 atas Malaysia di Kualalumpur ini, meskipun agak di luar perhitungan para pengamat, menjadi pembalasan sangat manis dari kekalahan menyakitkan akibat peristiwa Istora tahun 1967.
Anda setuju kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar