Selasa, 28 Februari 2012

Final Piala Thomas 1967 dan Penonton Istora

Meskipun sangat terlambat, saya ingin berbagi pengalaman saya ketika menjadi saksi mata peristiwa Final Perebutan Thomas Cup 1967, Indonesia vs Malaysia, meskipun dari mata seorang anak yang belum lulus SD.

Tergerak karena ingin berbagi, karena selama ber-tahun2 divonnis bahwa penontonlah yang memicu peristiwa itu. Bertahun-tahun opini publik kita sendiri memberi stigma negatif kepada penonton saat itu yang di “cap” terlalu anti Malaysia.

Tak dipungkiri, suasana ketika itu memang begitu, meskipun konfrontasi dengan Malaysia sudah diselesaikan secara damai setahun sebelumnya. Semangat “Ganyang Malaysia” masih tebal menggantung di Indonesia, juga malam itu di langit-langit Istora. Tapi hampir pada semua pertandingan, penonton terlihat santun, apalagi kalau memakai ukuran “kesantunan” penonton sekarang.

Yang amat jelas adalah, semangat patriotik ”Ke-Indonesia-an” itu terasa sangat kuat…..

Prolog

Meskipun maju ke final sebagai juara bertahan (juara 1964 vs Denmark 5-4), oleh sebab itu hanya menunggu pemenang Challenge Round, sebenarnya kondisi dunia Bulutangkis di tanah air waktu itu sedang berada pada titik nadir.

Pahlawan Piala Thomas Indonesia 1958 - 1964 Tan Joe Hock telah mengundurkan diri. Ferry Sonneville sudah berusia 36 th dan sudah beberapa saat tidak terlibat lagi dalam kompetisi. Pelatnas belum ada, jadi penyusunan ranking pemain didasarkan atas Kejuaraan Nasional, beberapa bulan sebelum pertandingan Piala Thomas digelar.

Kejuaraan itu dimenangi oleh seorang remaja klas 3 SMA asal Surabaya, Rudy Nio yang mengalahkan seniornya Muljadi (sebelumnya bernama Ang Tjin Siang) di final.

Tapi rupanya pengurus PBSI merasa gamang untuk mempercayakan Tunggal Utama Indonesia pada remaja tanpa pengalaman internasional itu, sehingga Ferry Sonneville dipanggil kembali (meskipun tanpa melalui kompetisi) sebagai Tunggal Utama.

Sektor ganda yang bertahun-tahun sebelumnya menjadi titik lemah Indonesia masih dipercayakan kepada Tan King Gwan (Darmawan Saputra)/Unang AP, penentu kemenangan Indonesia pada final Thomas Cup 1964 di Tokyo. Padahal, King Gwan saat itu juga sudah berumur 37 th!

Malaysia?

Tunggal Utama mereka Tan Aik Huang adalah juara All England 1966, dan finalis 1967 (kalah di final dari Erland Kops-Denmark). Ganda Utama mereka Ng Boon Bee/Tan Yee Khan adalah juara All England 1966 dan 1967 (All England waktu itu dianggap Kejuaraan Dunia tak resmi). Ditambah dengan Tunggal Kedua yang lagi ‘moncer‘ Yew Cheng Hoe (24 thn).

Dengan demikian tidak ada orang waras yang tidak mengunggulkan Malaysia.


Pertandingan Itu.

Pertandingan Final ini berlangsung di Istora Senayan, dalam 2 hari (9-10 Juni 1967)

Hari Pertama mempertandingkan 4 partai (2 tunggal dan 2 ganda). Hari Kedua 5 partai (2 tunggal dan 2 ganda disilang, ditambah tunggal ketiga). Syarat lain adalah minimal 1 orang pemain tunggal harus merangkap sebagai pemain ganda.

Partai pembuka adalah tunggal utama Indonesia Ferry Sonneville, kalah kecepatan oleh tunggal kedua Malaysia, Yew Cheng Hoe dan kalah dengan cukup mudah 9-15, 7-15. (Malaysia pecah telor, 0-1).

Remaja berusia 18 tahun kurang 2 bulan yang pada malam itu resmi bernama Rudy Hartono Kurniawan, tunggal kedua Indonesia, tampil pada partai kedua melawan Tan Aik Huang. Seakan ingin menunjukkan bahwa gelar Juara Seleksi Nasional yang didapatkannya bukan karena kebetulan apalagi karbitan, Rudy mencecar Tan dengan ‘overhead smash‘nya yang terkenal itu. (Ketika itu bila pemain bertangan kanan menerima lob di arah kirinya, biasanya diambil dengan pukulan backhand, berupa dropshot atau lob serang. Tapi Rudy mengambilnya dengan forehand smash. Badannya meliuk, indah namun amat mematikan! Ditambah dengan footworknya yang sempurna mengcover lapangan, seolah dia sedang menari balet.) Tan Aik Huang yang lebih berpengalaman dan juara All England itu tidak sempat berkembang dan kalah mudah 15-6,15-8. (Indonesia pecah telor 1-1).

Partai Ketiga adalah pertandingan menarik. Muljadi pemain spesialis tunggal, dipasangkan dengan Agus Susanto, kelihatan belum padu sehingga set ke1 kalah mudah 2-15 oleh Tan Aik Huang/Teh Kew San. Set ke 2 ternyata pasangan Indonesia memberikan perlawanan keras dan menang 18-15. Karena tidak beruntung saja set ketiga bisa dimenangi ganda Malaysia, 12- 15 (Indonesia ketinggalan 1-2).

Partai Keempat, sekaligus penutup pertandingan malam itu, pemain ganda peringkat 1 dunia Malaysia Ng Boon Bee/Tan Yee Khan tidak menemui kesulitan berarti dalam menundukkan veteran Indonesia Darmawan Saputra/Unang AP, 15-6, 15-7. (Malaysia unggul 1-3).

Penonton masih tertib (sekali lagi, apalagi untuk ukuran sekarang!), meskipun demikian Herbert Scheele beberapa kali berdiri, berjalan2 yang dianggap ‘overacting‘ oleh penonton.

Rasanya sisa malam itu seluruh rakyat Indonesia tidak nyenyak tidur. Olahraga kebanggaan Indonesia, di kandang sendiri, harus ketinggalan 1-3. Bagaimana besok?

Peristiwa itu

Malam Kedua dibuka dengan Ferry Sonneville tunggal utama Indonesia yang dikalahkan Tan Aik Huang nyaris tanpa keringat 2-15, 4-15. (Indonesia hampir kalah, 1-4).

Saat itu, tanpa komando, tanpa dirigen, penonton mulai kompak menyanyi “Hallo Hallo Bandung“, “Padamu Negeri“, hingga “Rayuan Pulau Kelapa“. (Bayangkan saja lagu dalam tempo lambat seperti “Rayuan Pulau Kelapa” bisa dinyanyikan secara utuh dan kompak!!)

Rudy Hartono di partai ke 2 membuktikan Indonesia masih ada dan menang (juga nyaris tanpa keringat) atas Yew Cheng Hoe, 15-5, 15-9. (Indonesia mendekat 2-4)

(Menarik diperhatikan bahwa Rudy Hartono, pada debut pertamanya di dunia Internasional tidak membiarkan lawan-lawannya meraih angka 10!)

Muljadi yang telat panas (seperti juga Susi Susanti, kemudian) menemui perlawanan alot veteran Malaysia 34 th, Teh Kew San di partai ke 3, meskipun menang straight set, 18-15, 15-4. (Indonesia makin dekat, 3-4).

Lagu yang dinyanyikan penonton semakin keras, dan nyaris tanpa berhenti, bahkan ketika pemain sedang konsentrasi melakukan servis. Wasit Kehormatan yang asal Inggris seperti duduk di atas bara, berkali-kali mondar-mandir hanya untuk menjadi bahan cemoohan penonton. Rupanya beliau menganggap bahwa penonton pertandingan bulutangkis haruslah tertib seperti penonton tennis.

Sungguh tidak beruntung undian pertandingan yang memaksa Muljadi hanya beristirahat 30 menit dan harus bertanding kembali di partai ke 4 bersama Agus Susanto (Ayah pemain ‘stylish‘ Indonesia, pemegang Medali Perunggu Olimpiade Barcelona 1992, Hermawan Susanto). Lawannya adalah jawara Malaysia Ng Boon Bee/Tan Yee Khan yang juara dunia, yang diharapkan (Malaysia!) mampu menghentikan perlawanan Indonesia, 5-3.

Harapan itu sepertinya akan terkabul, Muljadi yang belum pulih benar kondisi fisiknya jadi incaran ganda Malaysia, harus jatuh-bangun untuk kalah mudah set pertama 2-15. Set kedua kelihatannya juga akan mudah buat ganda Malaysia itu. Mereka sudah unggul jauh, dan hanya perlu 5 angka lagi dan Indonesia benar-benar harus merelakan Piala Thomas terbang ke Malaysia.

Tapi kemudian terjadilah keajaiban!

Muljadi yang pantang menyerah, mengubah taktik, berusaha menurunkan tempo permainan sambil menata napasnya. Berkali-kali dia minta ganti shuttle cock (hal yang belum umum dilakukan saat itu). Kalau ditolak, dia minta ganti raket. Lalu berlama-lama mengusap keringat, ganti kaos, mengikat tali sepatu di tengah lapangan ketika ganda Malaysia bersiap servis (bahkan kemudian mengganti sepatunya!). Ganda Malaysia protes, konsentrasi mereka pecah dan terpancing emosi, irama permainan menjadi kacau dan banyak melakukan kesalahan sendiri. Lob keluar, smash melebar, dropshot nyangkut. Dari ketinggalan 2-10, Muljadi/Agus berhasil memaksakan deuce 13-13.

Sampai disini bisakah dimaklumi emosi penonton yang meledak karena gembira? Ketika kondisi berbalik ‘from zero to hero‘ seperti itu, wajarkah kalau supporter Indonesia jadi histeris?

Keadaan baru benar-benar tak terkendali ketika ganda Malaysia yang kalah set kedua 15-18, menolak untuk melanjutkan pertandingan. Wasit Kehormatan ter-provokasi oleh tuntutan Malaysia dan menuntut Panitia untuk mengendalikan keadaan. Keadaan berangsur jadi chaos, kalimah sakti Ganyang Malaysia! mulai ramai diteriakkan.

Pertandingan kemudian dihentikan oleh Scheele.

Epilog.

Kejadian selanjutnya, Indonesia harus melanjutkan pertandingan yang tersisa di tempat netral. Karena Indonesia menolak (untuk dinyatakan ‘bersalah‘), Indonesia diputuskan kalah 6-3.

Tapi ulah penonton yang tidak tertib seperti itu ternyata bukan cuma milik Indonesia. 3 tahun kemudian penonton KL membalasnya dengan sama hebohnya, sama kurang ajarnya, tapi Tim Bulutangkis Indonesia tahun 1970 terlalu kuat untuk tuan rumah, meskipun didukung penuh oleh penonton. Indonesia di final menang telak 7-2 atas Malaysia.

Tahun 1992 Ardy Wiranata cs di Bukit Jalil harus menyaksikan spanduk raksasa yang dibentangkan supporter Malaysia “Garuda Fall” dan kalah 2-3 dari Malaysia di final.

Giliran Jakarta menjadi tuan rumah 1994, Indonesia yang sudah unggul harus kembali menerima provokasi Malaysia yang enggan meneruskan pertandingan setelah kalah 0-3.

Jadi, apakah malam itu supporter Indonesia memberikan perlakuan tak senonoh pada tamunya? Rasanya jawabannya sangat kompleks dan saling berkait sebab dan akibat. Yang jelas, saat itu Indonesia kalah karena keputusan, bukan karena kalah bertanding.

2 komentar:

  1. Indonesia dan Malaysia bersaing ketat

    BalasHapus
  2. Indonesia memang lawan berat Malaysia, kunjungan balasan ya ke blog saya www.goocap.com

    BalasHapus