Curhat Si Bulutangkis Pada Kawannya-Sepak Bola
Kawan, izinkan aku sekedar berbagi cerita padamu. Sebelumnya, aku minta
maaf beribu kali padamu bila membuat telingamu jadi semak dengan
resahku ini.
Beberapa tahun terakhir, aku jadi iri melihatmu
yang sangat dicintai oleh hampir semua orang di negeri tempat kita
bernaung ini. Negeri yang lagu kebangsaannya sering menggema di pentas
dunia saat pemain-pemain kita berlaga merajut prestasi.
Kawan, kuharap dirimu tak marah karena jujur aku telah iri pada kawan
sendiri. Kuberharap dirimu tak memasukkannya dalam hati. Iya, aku iri
bukan karena orang-orang lebih menyukai kepopuleran yang kamu miliki
saat ini. Tapi aku iri karena bos kita (pengelola olahraga) itu.
Seakan-akan si bos telah mengusirku untuk segera menjauh dari
pandangannya.
Kawan, tak ada maksudku untuk
membanding-bandingkan jumlah trofi kejayaan yang kita bawa pulang ke
negeri yang bernama Indonesia ini. Kamu pasti sudah melihatnya sendiri.
Pemain-pemainku lebih sering menebar bau wangi nama negara di level
internasional. Apalagi di era tahun 90-an, mendengar nama-nama pemainku
saja, lawan-lawan menjadi gusar dan gemetar.
Kawan, mungkin bos
kita terlalu percaya pada pemain-pemainku yang luar biasa itu. Sehingga
tak perlu lagi butuh perhatian. Tak perlu kusebut satu per satu. Taufik
Hidayat salah satunya, kamu pasti kenal dekat siapa dia. Saat ini
dialah yang selalu menjadi ujung tombakku. Sempat aku terharu saat ia
curhat ke media beberapa waktu lalu. Katanya, regenerasi bulutangkis
terlambat.
Kawan, saat mengetahui informasi itu, aku semakin
iri saja padamu. Ingin kuteriak sekencang-kencangnya seperti gemuruh
suara penonton dalam stadion yang kamu miliki, biar bos kita tak lagi
tutup mata.
Aku semakin sedih melihat realita ini. Saat kamu
punya banyak cara untuk mendapatkan regenerasi pemain pengganti
seniornya. Kamu punya banyak liga untuk mengasah kemampuan pemain dan
menelorkan bibit-bibit baru. Mulai liga profesional hingga tingkat
amatiran. Mulai dari Sabang hingga Meurauke. Bahkan mengirim anak-anak
usia muda hingga ke Benua Amerika sana untuk belajar menyepakbola.
Tentunya melimpah dana untuk itu kan, sedangkan aku? Ehmm, usah ditanya
lagi. Tahu sendirilah macam mana. Kalaupun kepedulian itu juga ada,
hanya sebatas menggema di Pulau Jawa. Itupun belum dikelola secara
sempurna.
Duhai kawanku, sepak bola. Aku tak mau bicara banyak
dan berandai-andai ini itu. Pintaku cukup satu, jika kamu berjumpa sama
bos kita yang memandangku kini sebelah mata, tolong sampaikan perihal
kesedihanku ini. Terimakasih tak terhingga bila mau membantuku. Semoga
kita bisa sama-sama membanggakan nama bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar