Senin, 27 Februari 2012

Curhat Si Bulutangkis Pada Kawannya-Sepak Bola

Kawan, izinkan aku sekedar berbagi cerita padamu. Sebelumnya, aku minta maaf beribu kali padamu bila membuat telingamu jadi semak dengan resahku ini.

Beberapa tahun terakhir, aku jadi iri melihatmu yang sangat dicintai oleh hampir semua orang di negeri tempat kita bernaung ini. Negeri yang lagu kebangsaannya sering menggema di pentas dunia saat pemain-pemain kita berlaga merajut prestasi.

Kawan, kuharap dirimu tak marah karena jujur aku telah iri pada kawan sendiri. Kuberharap dirimu tak memasukkannya dalam hati. Iya, aku iri bukan karena orang-orang lebih menyukai kepopuleran yang kamu miliki saat ini. Tapi aku iri karena bos kita (pengelola olahraga) itu. Seakan-akan si bos telah mengusirku untuk segera menjauh dari pandangannya.

Kawan, tak ada maksudku untuk membanding-bandingkan jumlah trofi kejayaan yang kita bawa pulang ke negeri yang bernama Indonesia ini. Kamu pasti sudah melihatnya sendiri. Pemain-pemainku lebih sering menebar bau wangi nama negara di level internasional. Apalagi di era tahun 90-an, mendengar nama-nama pemainku saja, lawan-lawan menjadi gusar dan gemetar.

Kawan, mungkin bos kita terlalu percaya pada pemain-pemainku yang luar biasa itu. Sehingga tak perlu lagi butuh perhatian. Tak perlu kusebut satu per satu. Taufik Hidayat salah satunya, kamu pasti kenal dekat siapa dia. Saat ini dialah yang selalu menjadi ujung tombakku. Sempat aku terharu saat ia curhat ke media beberapa waktu lalu. Katanya, regenerasi bulutangkis terlambat.

Kawan, saat mengetahui informasi itu, aku semakin iri saja padamu. Ingin kuteriak sekencang-kencangnya seperti gemuruh suara penonton dalam stadion yang kamu miliki, biar bos kita tak lagi tutup mata.

Aku semakin sedih melihat realita ini. Saat kamu punya banyak cara untuk mendapatkan regenerasi pemain pengganti seniornya. Kamu punya banyak liga untuk mengasah kemampuan pemain dan menelorkan bibit-bibit baru. Mulai liga profesional hingga tingkat amatiran. Mulai dari Sabang hingga Meurauke. Bahkan mengirim anak-anak usia muda hingga ke Benua Amerika sana untuk belajar menyepakbola. Tentunya melimpah dana untuk itu kan, sedangkan aku? Ehmm, usah ditanya lagi. Tahu sendirilah macam mana. Kalaupun kepedulian itu juga ada, hanya sebatas menggema di Pulau Jawa. Itupun belum dikelola secara sempurna.

Duhai kawanku, sepak bola. Aku tak mau bicara banyak dan berandai-andai ini itu. Pintaku cukup satu, jika kamu berjumpa sama bos kita yang memandangku kini sebelah mata, tolong sampaikan perihal kesedihanku ini. Terimakasih tak terhingga bila mau membantuku. Semoga kita bisa sama-sama membanggakan nama bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar