Senin, 27 Februari 2012

Piala Thomas 1973, Matinya Seorang Bintang


Indonesia tahun 1973 adalah super power di dunia bulutangkis. Bintang-bintang senior masih belum menyurut dan bintang baru bermunculan. Pembinaan yang sungguh berhasil. China meskipun sudah mulai di’cemas’kan, tapi masih berada dalam bayang kelabu. Sektor ganda putra yang bertahun-tahun menjadi titik lemah Indonesia, berbalik menjadi sektor penyumbang angka terbesar (sampai sekarang). Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa Piala Thomas masih akan tetap berada di tanah air, siapapun lawannya dan dimanapun pertandingan dilangsungkan. Pasar taruhan hanya ramai pada tebak-tebakan angka. Pada angka berapakah lawan akan dihabisi, 9-0, 8-1, atau 7-2?. Bahkan tidak ada orang gila yang menebak Indonesia hanya bisa menang dengan susah payah, 5-4!

Rudy Hartono.

Rudy saat itu berada di puncak dunia, 6 gelarAll England sudah dibawanya pulang, berturut-turut setiap tahun sejak 1968. Setiap pemain bulutangkis yang menghadapinya akan menampilkan 2 kemungkinan, kalah sebelum bertanding atau justru mendapat semangat berlipat untuk mengalahkannya. Penampilannya yang elegan di dalam dan di luar lapangan menjadikannya selebriti. Meskipun media saat itu belum ’seganas’ media sekarang, tetap saja tidak ada kehidupan pribadi Rudy yang tidak dikorek pers.

Dalam kondisi seperti itu bisa dibayangkan hebohnya pers dan masyarakat ketika Rudy mencoba bermain film. (Film pertama dan terakhir Rudy adalah garapan sutradara Wahyu Sihombing, bersama Poppy Dharsono dan Farouk Affero,1971. Judulnya ‘Matinya seorang Bidadari‘ yang diplesetkan pers menjadi ‘Matinya seorang Bintang‘, usai kekalahan Rudy atas Svend Pri). Ajaibnya, film itu gagal di pasaran.

(Bukti bahwa masyarakat lebih menyukai Rudy sebagai pemain bulutangkis, bukan sebagai aktor).

Revolusi Ganda Putra

Indonesia sungguh beruntung memiliki seorang dengan talenta seperti Christian Hadinata. Terlahir sebagai Tjhie Beng Goat 11 Desember 1949 di Purwokerto, Christian muda, mahasiswa STO (sekarang UPI-Bandung) dipanggil masuk Pelatnas setelah memenangi Kejurnas Jogyakarta 1971 di ganda putra bersama Atik Jauhari. Di Pelatnas, oleh pelatih Drs. Sukartono dia di”jodoh”kan dengan Ade Chandra. Pasangan ini segera melibas dunia dan membuat revolusi cara bermain ganda.

Permainan mereka yang sangat cepat dan keras, pada mulanya dikritik dunia bulutangkis karena dianggap “merusak” pakem dan seni bermain ganda. Hilang sudah permainan rally-rally panjang diganti dengan serobotan cepat dan gedoran keras bertubi-tubi. Servis yang sedikit saja ‘naik’ di atas net berarti maut, karena segera langsung diserobot bahkan sebelum bola turun. Pengembalian tanggung akan menjadi bulan-bulanan pasangan ini. Bola di’tekan’ serendah mungkin dan angka memang bergeser jauh lebih cepat dari permainan tunggal. Pasangan ini menjadi ‘raja’ dunia sebelum di’turun’kan oleh pasangan senegara yang lebih tajam dan lebih cepat, TjunTjun/Johan Wahyudi.

Hebatnya, tahun 1973 itu Christian di ajang All England, menciptakan All Indonesian Final di tunggal putra (kalah oleh Rudy) dan juga di ganda putra (Christian/Ade mengalahkan pasangan baru, Tjuntjun/Johan Wahyudi).

Invitasi Nasional Bulutangkis 1972

Invitasi yang bisa dianggap sebagai Kejuaraan Nasional Bulutangkis ini diadakan di Solo, Agustus 1972. Masalah timbul karena pengurus menerapkan kebijakan bahwa hanya Rudy dan Christian/Ade yang dibebaskan dari keharusan mengikuti Invitasi untuk memastikan tempat di tim. Kebijakan ini sangat mengecewakan Mulyadi. Pahlawan tim Piala Thomas Indonesia 1964, 1967, dan 1970 ini menganggap dirinya sebagai ‘sepah yang dibuang’ PBSI. Hadir di Solo, terdaftar sebagai peserta, tapi kemudian mogok tidak ikut bertanding, pulang ke Surabaya dan mengumumkan akan gantung raket. Pengurus tergopoh-gopoh menyusul, merayu Mulyadi sambil meralat keputusannya, memastikan tempat Mulyadi di tim. Keputusan ini juga didasari atas hasil Invitasi yang tidak sesuai harapan. Djaliteng yang menjadi juara dinilai kemampuannya masih di bawah Mulyadi. Si seniman yang urakan yang diperhitungkan pengamat bakal jadi juara, Iie Sumirat justru tersungkur di perempat final. Invitasi ini hanya berhasil di sektor ganda putra dengan tampilnya Tjuntjun/Johan Wahyudi sebagai juara baru mengalahkan jago dan veteran PBSI Indra Gunawan/Nara Sudjana.
B. Pertandingan itu

Pertandingan diikuti 23 negara (termasuk Indonesia juara bertahan), dibagi dalam 4 zona. Zona Austral-Asia 3 Negara, Asia 6 Negara, Eropa 9 Negara dan Pan Amerika 4 Negara. Juara tiap zona lolos ke babak Antarzona (Intra-zone Play Off) di Jakarta.

Indonesia sebagai juara bertahan langsung ke babak kedua Antarzona (babak semi final), menunggu juara zona Asia. Semua pertandingan dengan sistim gugur. Meskipun China belum ikut bertanding, zona Asia menjadi grup maut terutama karena kehadiran 3 raksasa bulutangkis dunia (saat itu) Malaysia, Thailand dan Jepang.

Babak Kualifikasi Zona (Intra-zone Qualification)

Seperti diramalkan, pertemuan 3 raksasa Asia itu memang menjadi pertarungan hidup mati di lapangan. Malaysia beruntung lolos dari hadangan Jepang 5-4 dalam sebuah drama pertandingan terpanjang dalam sejarah Piala Thomas. Angka penting Malaysia didapat oleh Punch Gunalan yang mengalahkan Juji Honma dalam rubberset dengan set terakhir 17-16! Beda menang dan kalah yang sangat tipis!. 3 bulan kemudian Sang Dewi Fortuna tidak lagi bersama Malaysia ketika berhadapan dengan Thailand. Tan Aik Huang menderita kejang kaki ketika menghadapi tunggal kedua Thailand, Sangob Ratunasorn. Cedera yang tidak pulih hari berikutnya, dan Malaysia kehilangan kesempatan, kalah 3-6 oleh Thailand. (Kekalahan yang sangat disesali tidak saja oleh pendukung Malaysia, tetapi juga oleh supporter Indonesia!).

Di zona Eropa, Denmark tidak menemui kesulitan berarti ketika menggusur Jerman (Barat) 7-2 dan lolos ke Jakarta dengan mengalahkan Swedia 8-1.

Sumpah Svend Pri

Setelah sukses mengantarkan Denmark lolos ke babak Play Off, Svend Pri sebagai tunggal Utama Denmark tidak mempedulikan apapun juga kecuali Rudy, Rudy dan Rudy. Masalah Denmark yang masih harus berhadapan di semi final menunggu pemenang pertandingan India vs Kanada, tidak dipedulikannya benar. Dia bersumpah akan mengalahkan Rudy Hartono di kandangnya sendiri. Bahkan tidak peduli walaupun Denmark nantinya dibantai Indonesia. Menyadari bahwa dia selalu mengalami kesulitan kalau bertanding di daerah tropis (tahun 70 dia sakit di Malaysia yang membuat Denmark kalah 5-4 di semi final) dia dengan lugu mohon ijin berlatih bersama pemain Indonesia di Pelatnas. Ketika ditolak (pastilah!), dia berlatih sambil ber-aklimatisasi selama 3 bulan di Singapura.

Semi Final ( Babak Antarzona/Play off)

Babak pertama play off mempertemukan juara zona Pan Amerika, Kanada vs juara zona Austral-Asia, India. Bintang muda India yang pernah berlatih di Indonesia Prakash Padukone menunjukkan kelasnya. Meskipun mampu mempersembahkan 4 angka untuk negaranya tapi tidak cukup untuk menang. Kanada 5 India 4.

Babak Kedua tidak ada yang seru. Denmark menyingkirkan Kanada 9-0 dan Indonesia menggulung Thailand 8-1. Satu-satunya kekalahan Indonesia dibuat Mulyadi yang kalah rubberset oleh bintang muda Thailand Bandid Jaiyen.

Final!

Susunan terbaik tim Indonesia saat itu menurut pengamat ahli dan amatiran (seperti saya) adalah tidak memecah 2 ganda yang sudah sangat solid itu, dan menugaskan Christian (yang finalis All England 73) atau Tjuntjun (semifinalis Invitasi 72) sebagai tunggal ketiga sekaligus bermain rangkap. Dengan demikian Rudy Hartono akan fokus di tunggal. Tapi ternyata Pelatih dan Tim Manajer punya pertimbangan lain dengan memasang Amril Nurman sebagai Tunggal Ketiga, memecah pasangan Tjuntjun/Johan Wahyudi dan membiarkan Rudy bermain rangkap.

Pertandingan diadakan di Istora GBK (waktu itu namanya “Senayan” saja) tanggal 2 dan 3 Juni 1973. Penonton yang berjubel melebihi kapasitas idealnya yang 10,000 orang menjadikan ruang tertutup itu menjadi pengap. Angin yang sama sekali tidak diperkenankan lewat ditambah polusi asap rokok penonton, tidak mengurangi gairah mendukung Indonesia. Tapi, jujur harus diakui, bahwa semangat dan hiruk pikuk penonton tidaklah sehebat kalau yang dihadapi adalah Malaysia.

Pertandingan ini adalah pertemuan ulang 2 Negara di final Piala Thomas. Pertemuan pertama di Tokyo 1964 juga dalam posisi Indonesia juara bertahan. Kala itu Indonesia menang tipis 5-4. Pebulutangkis di final 64 yang masih bermain di final 73 ini adalah Mulyadi 30 tahun dan Henning Borch 33 tahun. Dua pemain ini bertanding di final 1964 sebagai tunggal ke 3 yang dimenangi Mulyadi 15-10,15-5.

Pertandingan hari Pertama

Mulyadi yang membuka pertandingan malam pertama, seakan tidak menemui kesulitan untuk menundukkan Elo Hansen, menang di set pertama 15-6. Tapi di set ke 2 Hansen bangkit dan balik menekan membuat Mulyadi kerepotan 10-15. Set ke 3 pemain Denmark itu tidak menunjukkan gejala kehabisan napas di daerah tropis dan pengap Istora. Gegap gempita penonton juga tidak berpengaruh dan Mulyadi terus tertekan. 0-3, 1-4, 2-8 (pindah lapangan) 5-10 dan dalam upaya mengejar bola Mulyadi, Hansen terjatuh. Setelah itu, kelihatan fisiknya terkuras mungkin karena cedera dan Mulyadi menutup set itu dengan kemenangan 15-10 (1-0 Indonesia).

Ternyata yang dihadapi Rudy sebagai tunggal kedua malam itu adalah Svend Pri yang kesetanan. Bola sulit Rudy dikejarnya jatuh bangun dan jungkir balik (dalam arti sebenarnya!). Overhead smash Rudy yang mematikan tidak lagi manjur karena hampir selalu kembali. Pri merebut set pertama 12-15 dan sengaja melepas set kedua untuk memulihkan napas 15-5, sambil secara kocak meladeni ejekan penonton. (Dia seketika membatalkan servisnya ketika diteriaki, membalikkan badannya ke arah penonton dan berakting seperti dirigen yang memimpin koor. Penonton yang tidak siap dengan tindak balasan itu, tertawa. Setelah itu ejekan menjadi jauh berkurang. Kapok, karena tidak manjur!). Set ketiga dia kembali habis-habisan dan angka berkejaran sangat ketat 1-1, 3-3, 5-5, 9-9, 11-11. Rudy berkesempatan mendapat macth point lebih dulu 14-11, tapi gagal menutup set karena dikejar Pri 14-14. Perlu 9 kali pindah bola sebelum Pri melaju 14-16, Rudy sempat menambah 15-16, tapi Pri menutup set itu, betul-betul untuk kemenangannya, Rudy tumbang menyakitkan di kandang sendiri 15-17 (imbang 1-1).

Pri melompat histeris, melepas kaosnya dan berlari keliling lapangan seolah Denmark sudah menang. Penonton kecewa, terperangah, dan tidak percaya kalau Sang Rajawali sudah kalah. Meskipun demikian untuk menghargai kegigihan dan semangat pantang menyerah Pri itu, penonton menyambutnya dengan ‘standing ovation‘. Sejujurnya pertandingan itu dikuasai Rudy yang terus menerus menekan. Tapi Rudy tidak siap menghadapi daya juang Pri yang kesetanan seperti itu. Gegap gempita penonton yang mendukung Rudy menjadi bumerang, karena malahan Pri yang makin menggila.

Tapi, hanya sampai disitu perlawanan Denmark. Semua ganda dimenangkan Indonesia straight set. Christian/AdeChandra tidak berkeringat mengalahkan Poul Petersen/Tom Bacher 15-3, 15-5 dan Tjuntjun/Rudy menang 15-7,15-6 atas Pri/Henning Borch. Malam Pertama Indonesia unggul 3-1

Pertandingan hari Kedua

Malam Kedua hanya menarik di set awal ketika Amril Nurman tidak mampu mengimbangi kecepatan Flemming Delfs 11-15, tapi setelah itu kelihatan Delfs seperti lampu kehabisan minyak dan menyerah 15-4, 15-4 (Indonesia unggul 4-1)

Mulyadi yang turun berikutnya hanya menemui Svend Pri yang sudah kehabisan motivasi dan menang mudah 15-11, 15-1. Di set ke 2 terutama kelihatan kalau Pri sudah ogah bermain dan sengaja membuang-buang bola. (Indonesia unggul 5-1 dan Piala Thomas tetap di Indonesia).

Elo Hansen tidak mampu memulihkan cederanya dan memberikan kemenangan w.o untuk Rudy (Indonesia 6-1). Dua pasangan Indonesia juga menyelesaikan tugas dengan baik. Christian/Ade vs Pri/Borch 15-2, 15-8 dan Tjuntjun/Rudy vs Petersen/Bacher 15-11,15-5. (Indonesia-Denmark 8-1).
C. Penutup

Svend Pri merealisasikan sumpahnya dan Rudy Hartono, meskipun didukung penuh oleh penonton, harus kalah di kandang sendiri. Kekalahan ini terulang 1975 di final All England ketika Pri menggagalkan upaya Rudy merebut gelarnya yang ke 8 secara berturut-turut. Tetapi menurut Rudy kemudian, kekalahan ini jauh lebih menyakitkan dari kekalahannya di All England.

Bisa membayangkan hujatan pers dan masyarakat? Sudahlah, saya tidak tega mengingatnya kembali. Kemenangan atas Denmark yang 8-1 menjadi hilang artinya oleh kekalahan Rudy itu. Padahal Rudy masih mempersembahkan 3 angka kemenangan lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar