Piala Thomas 1973, Matinya Seorang Bintang
Indonesia tahun 1973 adalah super power di dunia bulutangkis. Bintang-bintang
senior masih belum menyurut dan bintang baru bermunculan. Pembinaan
yang sungguh berhasil. China meskipun sudah mulai di’cemas’kan, tapi
masih berada dalam bayang kelabu. Sektor ganda putra yang bertahun-tahun
menjadi titik lemah Indonesia, berbalik menjadi sektor
penyumbang angka terbesar (sampai sekarang). Tidak ada keraguan
sedikitpun bahwa Piala Thomas masih akan tetap berada di tanah air,
siapapun lawannya dan dimanapun pertandingan dilangsungkan. Pasar
taruhan hanya ramai pada tebak-tebakan angka. Pada angka berapakah lawan
akan dihabisi, 9-0, 8-1, atau 7-2?. Bahkan tidak ada orang gila yang
menebak Indonesia hanya bisa menang dengan susah payah, 5-4!
Rudy Hartono.
Rudy saat itu berada di puncak dunia, 6 gelarAll England sudah
dibawanya pulang, berturut-turut setiap tahun sejak 1968. Setiap pemain
bulutangkis yang menghadapinya akan menampilkan 2 kemungkinan, kalah
sebelum bertanding atau justru mendapat semangat berlipat untuk
mengalahkannya. Penampilannya yang elegan di dalam dan di luar lapangan
menjadikannya selebriti. Meskipun media saat itu belum ’seganas’ media
sekarang, tetap saja tidak ada kehidupan pribadi Rudy yang tidak dikorek
pers.
Dalam kondisi seperti itu bisa dibayangkan hebohnya pers
dan masyarakat ketika Rudy mencoba bermain film. (Film pertama dan
terakhir Rudy adalah garapan sutradara Wahyu Sihombing, bersama Poppy
Dharsono dan Farouk Affero,1971. Judulnya ‘Matinya seorang Bidadari‘
yang diplesetkan pers menjadi ‘Matinya seorang Bintang‘, usai kekalahan
Rudy atas Svend Pri). Ajaibnya, film itu gagal di pasaran.
(Bukti bahwa masyarakat lebih menyukai Rudy sebagai pemain bulutangkis, bukan sebagai aktor).
Revolusi Ganda Putra
Indonesia sungguh beruntung memiliki seorang dengan talenta seperti
Christian Hadinata. Terlahir sebagai Tjhie Beng Goat 11 Desember 1949 di
Purwokerto, Christian muda, mahasiswa STO (sekarang UPI-Bandung)
dipanggil masuk Pelatnas setelah memenangi Kejurnas Jogyakarta 1971 di
ganda putra bersama Atik Jauhari. Di Pelatnas, oleh pelatih Drs.
Sukartono dia di”jodoh”kan dengan Ade Chandra. Pasangan ini segera
melibas dunia dan membuat revolusi cara bermain ganda.
Permainan mereka yang sangat cepat dan keras, pada mulanya dikritik
dunia bulutangkis karena dianggap “merusak” pakem dan seni bermain
ganda. Hilang sudah permainan rally-rally panjang diganti dengan
serobotan cepat dan gedoran keras bertubi-tubi. Servis yang sedikit saja
‘naik’ di atas net berarti maut, karena segera langsung diserobot
bahkan sebelum bola turun. Pengembalian tanggung akan menjadi
bulan-bulanan pasangan ini. Bola di’tekan’ serendah mungkin dan angka
memang bergeser jauh lebih cepat dari permainan tunggal. Pasangan ini
menjadi ‘raja’ dunia sebelum di’turun’kan oleh pasangan senegara yang
lebih tajam dan lebih cepat, TjunTjun/Johan Wahyudi.
Hebatnya,
tahun 1973 itu Christian di ajang All England, menciptakan All
Indonesian Final di tunggal putra (kalah oleh Rudy) dan juga di ganda
putra (Christian/Ade mengalahkan pasangan baru, Tjuntjun/Johan Wahyudi).
Invitasi Nasional Bulutangkis 1972
Invitasi yang bisa dianggap sebagai Kejuaraan Nasional Bulutangkis ini
diadakan di Solo, Agustus 1972. Masalah timbul karena pengurus
menerapkan kebijakan bahwa hanya Rudy dan Christian/Ade yang dibebaskan
dari keharusan mengikuti Invitasi untuk memastikan tempat di tim.
Kebijakan ini sangat mengecewakan Mulyadi. Pahlawan tim Piala Thomas
Indonesia 1964, 1967, dan 1970 ini menganggap dirinya sebagai ‘sepah
yang dibuang’ PBSI. Hadir di Solo, terdaftar sebagai peserta, tapi
kemudian mogok tidak ikut bertanding, pulang ke Surabaya dan mengumumkan
akan gantung raket. Pengurus tergopoh-gopoh menyusul, merayu Mulyadi
sambil meralat keputusannya, memastikan tempat Mulyadi di tim. Keputusan
ini juga didasari atas hasil Invitasi yang tidak sesuai harapan.
Djaliteng yang menjadi juara dinilai kemampuannya masih di bawah
Mulyadi. Si seniman yang urakan yang diperhitungkan pengamat bakal jadi
juara, Iie Sumirat justru tersungkur di perempat final. Invitasi ini
hanya berhasil di sektor ganda putra dengan tampilnya Tjuntjun/Johan
Wahyudi sebagai juara baru mengalahkan jago dan veteran PBSI Indra
Gunawan/Nara Sudjana.
B. Pertandingan itu
Pertandingan
diikuti 23 negara (termasuk Indonesia juara bertahan), dibagi dalam 4
zona. Zona Austral-Asia 3 Negara, Asia 6 Negara, Eropa 9 Negara dan Pan
Amerika 4 Negara. Juara tiap zona lolos ke babak Antarzona (Intra-zone
Play Off) di Jakarta.
Indonesia sebagai juara bertahan langsung
ke babak kedua Antarzona (babak semi final), menunggu juara zona Asia.
Semua pertandingan dengan sistim gugur. Meskipun China belum ikut
bertanding, zona Asia menjadi grup maut terutama karena kehadiran 3
raksasa bulutangkis dunia (saat itu) Malaysia, Thailand dan Jepang.
Babak Kualifikasi Zona (Intra-zone Qualification)
Seperti diramalkan, pertemuan 3 raksasa Asia itu memang menjadi
pertarungan hidup mati di lapangan. Malaysia beruntung lolos dari
hadangan Jepang 5-4 dalam sebuah drama pertandingan terpanjang dalam
sejarah Piala Thomas. Angka penting Malaysia didapat oleh Punch Gunalan
yang mengalahkan Juji Honma dalam rubberset dengan set terakhir 17-16!
Beda menang dan kalah yang sangat tipis!. 3 bulan kemudian Sang Dewi
Fortuna tidak lagi bersama Malaysia ketika berhadapan dengan Thailand.
Tan Aik Huang menderita kejang kaki ketika menghadapi tunggal kedua
Thailand, Sangob Ratunasorn. Cedera yang tidak pulih hari berikutnya,
dan Malaysia kehilangan kesempatan, kalah 3-6 oleh Thailand. (Kekalahan
yang sangat disesali tidak saja oleh pendukung Malaysia, tetapi juga
oleh supporter Indonesia!).
Di zona Eropa, Denmark tidak
menemui kesulitan berarti ketika menggusur Jerman (Barat) 7-2 dan lolos
ke Jakarta dengan mengalahkan Swedia 8-1.
Sumpah Svend Pri
Setelah sukses mengantarkan Denmark lolos ke babak Play Off, Svend Pri
sebagai tunggal Utama Denmark tidak mempedulikan apapun juga kecuali
Rudy, Rudy dan Rudy. Masalah Denmark yang masih harus berhadapan di semi
final menunggu pemenang pertandingan India vs Kanada, tidak
dipedulikannya benar. Dia bersumpah akan mengalahkan Rudy Hartono di
kandangnya sendiri. Bahkan tidak peduli walaupun Denmark nantinya
dibantai Indonesia. Menyadari bahwa dia selalu mengalami kesulitan kalau
bertanding di daerah tropis (tahun 70 dia sakit di Malaysia yang
membuat Denmark kalah 5-4 di semi final) dia dengan lugu mohon ijin
berlatih bersama pemain Indonesia di Pelatnas. Ketika ditolak
(pastilah!), dia berlatih sambil ber-aklimatisasi selama 3 bulan di
Singapura.
Semi Final ( Babak Antarzona/Play off)
Babak pertama play off mempertemukan juara zona Pan Amerika, Kanada vs
juara zona Austral-Asia, India. Bintang muda India yang pernah berlatih
di Indonesia Prakash Padukone menunjukkan kelasnya. Meskipun mampu
mempersembahkan 4 angka untuk negaranya tapi tidak cukup untuk menang.
Kanada 5 India 4.
Babak Kedua tidak ada yang seru. Denmark
menyingkirkan Kanada 9-0 dan Indonesia menggulung Thailand 8-1.
Satu-satunya kekalahan Indonesia dibuat Mulyadi yang kalah rubberset
oleh bintang muda Thailand Bandid Jaiyen.
Final!
Susunan terbaik tim Indonesia saat itu menurut pengamat ahli dan
amatiran (seperti saya) adalah tidak memecah 2 ganda yang sudah sangat
solid itu, dan menugaskan Christian (yang finalis All England 73) atau
Tjuntjun (semifinalis Invitasi 72) sebagai tunggal ketiga sekaligus
bermain rangkap. Dengan demikian Rudy Hartono akan fokus di tunggal.
Tapi ternyata Pelatih dan Tim Manajer punya pertimbangan lain dengan
memasang Amril Nurman sebagai Tunggal Ketiga, memecah pasangan
Tjuntjun/Johan Wahyudi dan membiarkan Rudy bermain rangkap.
Pertandingan diadakan di Istora GBK (waktu itu namanya “Senayan” saja)
tanggal 2 dan 3 Juni 1973. Penonton yang berjubel melebihi kapasitas
idealnya yang 10,000 orang menjadikan ruang tertutup itu menjadi pengap.
Angin yang sama sekali tidak diperkenankan lewat ditambah polusi asap
rokok penonton, tidak mengurangi gairah mendukung Indonesia. Tapi, jujur
harus diakui, bahwa semangat dan hiruk pikuk penonton tidaklah sehebat
kalau yang dihadapi adalah Malaysia.
Pertandingan ini adalah
pertemuan ulang 2 Negara di final Piala Thomas. Pertemuan pertama di
Tokyo 1964 juga dalam posisi Indonesia juara bertahan. Kala itu
Indonesia menang tipis 5-4. Pebulutangkis di final 64 yang masih bermain
di final 73 ini adalah Mulyadi 30 tahun dan Henning Borch 33 tahun. Dua
pemain ini bertanding di final 1964 sebagai tunggal ke 3 yang dimenangi
Mulyadi 15-10,15-5.
Pertandingan hari Pertama
Mulyadi yang membuka pertandingan malam pertama, seakan tidak menemui
kesulitan untuk menundukkan Elo Hansen, menang di set pertama 15-6. Tapi
di set ke 2 Hansen bangkit dan balik menekan membuat Mulyadi kerepotan
10-15. Set ke 3 pemain Denmark itu tidak menunjukkan gejala kehabisan
napas di daerah tropis dan pengap Istora. Gegap gempita penonton juga
tidak berpengaruh dan Mulyadi terus tertekan. 0-3, 1-4, 2-8 (pindah
lapangan) 5-10 dan dalam upaya mengejar bola Mulyadi, Hansen terjatuh.
Setelah itu, kelihatan fisiknya terkuras mungkin karena cedera dan
Mulyadi menutup set itu dengan kemenangan 15-10 (1-0 Indonesia).
Ternyata yang dihadapi Rudy sebagai tunggal kedua malam itu adalah
Svend Pri yang kesetanan. Bola sulit Rudy dikejarnya jatuh bangun dan
jungkir balik (dalam arti sebenarnya!). Overhead smash Rudy yang
mematikan tidak lagi manjur karena hampir selalu kembali. Pri merebut
set pertama 12-15 dan sengaja melepas set kedua untuk memulihkan napas
15-5, sambil secara kocak meladeni ejekan penonton. (Dia seketika
membatalkan servisnya ketika diteriaki, membalikkan badannya ke arah
penonton dan berakting seperti dirigen yang memimpin koor. Penonton
yang tidak siap dengan tindak balasan itu, tertawa. Setelah itu ejekan
menjadi jauh berkurang. Kapok, karena tidak manjur!). Set ketiga dia
kembali habis-habisan dan angka berkejaran sangat ketat 1-1, 3-3, 5-5,
9-9, 11-11. Rudy berkesempatan mendapat macth point lebih dulu 14-11,
tapi gagal menutup set karena dikejar Pri 14-14. Perlu 9 kali pindah
bola sebelum Pri melaju 14-16, Rudy sempat menambah 15-16, tapi Pri
menutup set itu, betul-betul untuk kemenangannya, Rudy tumbang
menyakitkan di kandang sendiri 15-17 (imbang 1-1).
Pri melompat
histeris, melepas kaosnya dan berlari keliling lapangan seolah Denmark
sudah menang. Penonton kecewa, terperangah, dan tidak percaya kalau Sang
Rajawali sudah kalah. Meskipun demikian untuk menghargai kegigihan dan
semangat pantang menyerah Pri itu, penonton menyambutnya dengan
‘standing ovation‘. Sejujurnya pertandingan itu dikuasai Rudy yang
terus menerus menekan. Tapi Rudy tidak siap menghadapi daya juang Pri
yang kesetanan seperti itu. Gegap gempita penonton yang mendukung Rudy
menjadi bumerang, karena malahan Pri yang makin menggila.
Tapi,
hanya sampai disitu perlawanan Denmark. Semua ganda dimenangkan
Indonesia straight set. Christian/AdeChandra tidak berkeringat
mengalahkan Poul Petersen/Tom Bacher 15-3, 15-5 dan Tjuntjun/Rudy menang
15-7,15-6 atas Pri/Henning Borch. Malam Pertama Indonesia unggul 3-1
Pertandingan hari Kedua
Malam Kedua hanya menarik di set awal ketika Amril Nurman tidak mampu
mengimbangi kecepatan Flemming Delfs 11-15, tapi setelah itu kelihatan
Delfs seperti lampu kehabisan minyak dan menyerah 15-4, 15-4 (Indonesia
unggul 4-1)
Mulyadi yang turun berikutnya hanya menemui Svend
Pri yang sudah kehabisan motivasi dan menang mudah 15-11, 15-1. Di set
ke 2 terutama kelihatan kalau Pri sudah ogah bermain dan sengaja
membuang-buang bola. (Indonesia unggul 5-1 dan Piala Thomas tetap di
Indonesia).
Elo Hansen tidak mampu memulihkan cederanya dan
memberikan kemenangan w.o untuk Rudy (Indonesia 6-1). Dua pasangan
Indonesia juga menyelesaikan tugas dengan baik. Christian/Ade vs
Pri/Borch 15-2, 15-8 dan Tjuntjun/Rudy vs Petersen/Bacher 15-11,15-5.
(Indonesia-Denmark 8-1).
C. Penutup
Svend Pri
merealisasikan sumpahnya dan Rudy Hartono, meskipun didukung penuh oleh
penonton, harus kalah di kandang sendiri. Kekalahan ini terulang 1975 di
final All England ketika Pri menggagalkan upaya Rudy merebut gelarnya
yang ke 8 secara berturut-turut. Tetapi menurut Rudy kemudian, kekalahan
ini jauh lebih menyakitkan dari kekalahannya di All England.
Bisa membayangkan hujatan pers dan masyarakat? Sudahlah, saya tidak tega
mengingatnya kembali. Kemenangan atas Denmark yang 8-1 menjadi hilang
artinya oleh kekalahan Rudy itu. Padahal Rudy masih mempersembahkan 3
angka kemenangan lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar